Sabtu, 16 Juli 2011

materi akhlak tasawuf

HAND OUT AKHLAQ TASAWUF
Oleh: Nur Hidayat, M.Ag.

PERTEMUAN 1 – 2
PEMBAHASAN AKHLAK

a. Pengertian Akhlak
Secara etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq dalam bentuk jama’, sedang mufradnya adalah khuluq Selanjutnya makna akhlak secara etimologis akan dikupas lebih mendalam.
Kata khuluq (bentuk mufrad dari akhlaq) ini berasal dari fi’il madhi khalaqa yang dapat mempunyai bermacam-macam arti tergantung pada mashdar yang digunakan. Ada beberapa kata Arab seakar dengan kata al-khuluq ini dengan perbedaan makna. Namun karena ada kesamaan akar kata, maka berbagai makna tersebut tetap saling berhubungan. Diantaranya adalah kata al-khalq artinya ciptaan. Dalam bahasa Arab kata al-khalq artinya menciptakan sesuatu tanpa didahului oleh sebuah contoh,
atau dengan kata lain menciptakan sesuatu dari tiada. Dan yang bisa melakukan hal ini hanyalah Allah, sehingga hanya Allahlah yang berhak berpredikat Al-Khaliq atau Al-Khallaq sebagaimana yang diungkapkan dalam QS. al-Hasyr ayat 24
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ
dan QS. Yasin ayat 81 yang berbunyi
بَلَى وَهُوَ الْخَلَّاقُ الْعَلِيمُ

Disamping itu masih ada arti lain yaitu, pertama mereka-reka/merekayasa, misalnya dalam QS. Al-Mu’minun ayat 14
فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
diartikan Maha Suci Allah Sang Perekayasa yang terbaik, dan QS. Al-Ankabut ayat 17 yang berbunyi
وَتَخْلُقُونَ إِفْكاً
diartikan ...dan kalian mereka-reka bohong. Kedua, al-din (agama) misalnya QS. Al-Nisa ayat 119
فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللّهِ
diartikan ...maka mereka benar-benar merubah ciptaan (agama) Allah (yang berupa hukum-hukum-Nya). Ketiga, rusak, misalnya artinya memakaikan pakaian rusak. Arti lain yang hampir mirip dengan al-khiluq adalah kata khalaqa yang artinya bergaul dengan orang lain, seperti ungkapan syair:
(Artinya: Pergaulilah orang lain dengan pergaulan yang baik, Jangan seperti anjing yang menggonggongi orang). Kemudian kata al-khalaq yang diartikan bagian yang baik, seperti disebutkan dalam
al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 102
مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ
diartikan: Dan tidak ada baginya bagian yang baik di akhirat (nanti).

Arti-arti di atas mempunyai konsekuensi logis dalam penggunaan kata al-khuluq yang diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Sehingga dapat dijelaskan al-khuluq (budi pekerti) mengandung segi-segi penyesuaian dengan makna di atas. Oleh karena itu, al-khuluq itu sifatnya diciptakan oleh si pelaku itu sendiri, dan ini bisa bernilai baik (ahsan) dan buruk (qabih) tergantung pada sifat perbuatan itu. Kemudian al-khuluq itu bisa dianggap baik dengan syarat memenuhi aturan-aturan agama. Sifat al-khuluq itu tidak hanya mengacu pada pola hubungan kepada Allah, namun juga mengacu pada pola hubungan dengan sesama manusia serta makhluk lainnya. Bila khuluq seseorang itu baik maka ia akan mendapatkan kebaikan (kebahagiaan) di akhirat nanti.
Selanjutnya kata al-khuluq ini juga mengandung segi-segi penyesuaian dengan perkataan al-khalaq yang berarti ciptaan serta erat hubungannya dengan kata al-Khaliq yang berarti pencipta, dan perkataan makhluq yang berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian tersebut timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk lainnya. Sehingga pola-pola hubungan ini menjadi pembahasan ruang lingkup akhlak.
Inilah ciri khusus kata akhlak dalam bahasa Arab yang digunakan untuk menyebut perangai manusia dalam kajian bahasa (etimologi).
Sementara itu dari sudut terminologi (istilah), ada banyak pendapat yang mengemukakan istilah akhlak. Diantaranya adalah yang dikemukakan Al-Ghazali:


Artinya: Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Maka bila sifat itu memunculkan perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syariat maka sifat itu disebut akhlak yang baik, dan bila yang muncul dari sifat itu perbuatan-perbuatan buruk maka disebut akhlak yang buruk.
Pengertian di atas memberikan pemahaman bahwa al-khuluq disebut sebagai kondisi atau sifat yang terpatri dan meresap dalam jiwa sehingga si pelaku perbuatan melakukan sesuatu itu secara sepontan dan mudah tanpa dibuat-buat, karena seandaianya ada orang yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk dilakukan (mungkin karena terpaksa atau mencari muka), maka bukanlah orang tersebut dianggap dermawan sebagai pentulan kepribadiannya. Sifat yang telah meresap dan terpatri dalam jiwa itu juga disyaratkan dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi.
Ibnu Maskawih memberikan definisi senada mengenai istilah khuluq sebagai berikut:

Artinya: Khuluq ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pemikiran.
Dijelaskan pula oleh Ibnu Mskawaih bahwa keadaan gerak jwa tersebut meliputi dua hal. Yang pertama, alamiah dan bertolak watak, seperti adanya orang yang mudah marah hanya karena masalah yang sangat sepele, atau tertawa berlebihan hanya karena suatu hal yang biasa saja, atau sedih berlebihan hanya karena mendengar berita yang tidak terlalu memprihatinkan. Yang kedua, tercipta melalui kebiasaan atau latihan. Pada awalnya keadaan tersebut terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian menjadi karakter yang melekat tanpa dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan manifestasi iman, Islam, dan ihsan yang merupakan refleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada diri seseorang sehingga dapat melahirkan perilaku secara konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan berdasar interes tertentu. Sifat dan jiwa yang melekat dalam diri seseorang menjadi pribadi yang utuh dan menyatu dalam diri orang tersebut sehingga akhirnya tercermin melalui tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari bahkan menjadi adat kebiasaan. Oleh karena itu secara singkat Ahmad Amin menyatakan:

Artinya: Khuluq ialah membiasakan kehendak.

Yang dimaksud dengan ‘adah ialah perbuatan yang dilakukan berdasarkan kecenderungan hati yang selalu diulang-ulang tanpa pemikiran dan pertimbangan yang rumit; sedangkan yang melakukan dengan iradah ialah menangnya keinginan untuk melakukan sesuatu setelah mengalami kebimbangan untuk menetapkan pilihan terbaik diantara beberapa alternatif. Apabila iradah sering terjadi pada diri seseorang, maka akan terbentuk pula pola yang baku, sehingga selanjutnya tidak perlu membuat pertimbangan-pertimbangan lagi, melainkan secara langsung melakukan tindakan yang sering dilaksanakan tersebut. Definisi yang terakhir ini mendukung dua definisi di atas dengan penjelasan secara rinci tentang pembiasaan kehendak. Dimana Zakki Mubarak menegaskan bahwa arti kehendak itu adalah sesuatu yang membangkitkan hati pada apa yang ia ketahui yang sesuai dengan tujuan, baik itu tujuan sementara ataupun tujuan yang akan datang.
Kembali pada masalah akhlak yang dibatasi sebagai suatu kondisi atau sifat yang tertanam dalam jiwa manusia. Keadaan atau sifat ini bisa merupakan watak atau pembawaan sejak lahir, seperti pemarah, penakut, mudah risau, pemberani, dermawan dan sebagainya, dan bias merupakan hasil pembiasaan atau latihan yang kadang-kadang sumber asalnya dengan mempertimbangkan dan berpikir tentang perbuatan yang akan dilakukan kemudian berlangsung terus menerus sehingga sedikit demi sedikit sifat itu meresap dalam jiwa dan menjadi akhlak. Dan memang harus diakui bahwa manusia dilahirkan dengan membawa seperangkat watak, ada yang berwatak baik, berwatak buruk dan ada pula yang berwatak diantara baik dan buruk. Watak-watak tersebut turut menentukan bentuk akhlak seseorang disamping faktor pembiasaan dan latihan tadi.
Dalam pembahasan tentang akhlak sering muncul beberapa istilah yang bersinonim dengan akhlak, yakni istilah etika dan moral.
Berikut ini akan dikupas pengertian etika dan moral.
1) Etika
Etika, seperti halnya dengan istilah yang menyangkut ilmiah lainnya berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu, ethos. Kata ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak taetha artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah “etika” yang oleh filosuf besar Yunani, Aristoteles (384-322 sM) sudah dipakai sebagai filsafat moral.
Jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat, 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, 3) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dari ketiga pengertian ini dapat dijelaskan secara unit beserta contoh-contohnya. Pertama, etika dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya etika Budha, etika Islam, Etika Nasrani dan lain-lain. Secara singkat arti ini dapat dirumuskan sebagai sistem nilai. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Misalnya beberapa tahun yang lalu Departemen Kesehatan Republik Indonesia menerbitkan sebuah kode etik untuk seluruh rumah sakit di Indonesia yang diberi judul “Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI)”. Ketiga, etika mempunyai arti sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Etika bisa dikatakan ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika disini sama artinya dengan filsafat moral. Dalam pengertian ketiga inilah umumnya definisi etika diberikan.
Berikut ini adalah definisi etika dalam pengertian pertama, yaitu nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat. Di dalam New Master Pictorial Encyclopedia dikatakan: ethics is the science of moral philosophy concerned not with fact, but with value; not with the character of, but the ideal of human conduct. Dengan kata lain, etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, melainkan tentang nilai-nilai dan moral berkaitan dengan tindakan manusia, melainkan tentang idenya.
Sementara itu, dalam Dictionary of Education disebutkan bahwa Ethics; the study of human behaviour not only to find the trurth of things as they are, but also to enquire into the worth or goodness of human actions. Selanjutnya dirumuskan sebagai berikut the science of human conduct, concerned with judgment of obligation (tightness or wrongess, oughtyness) and judgment of value (goodness and badness). Dengan kata lain, bahwa etika adalah ilmu tentang tingkah laku manusia yang berkenaan dengan ketentuan tentang kewajiban yang menyangkut masalah kebenaran kesalahan, atau keputusan, serta ketentuan tentang nilai yang menyangkut kebaikan maupun keburukan.
Kedua definisi di atas mengarah pada pembahasan etika dalam pengertian ilmu yang menjadi topik pembahasan filsafat yang dalam obyeknya mengandalkan rasionalisasi akal pikkan. Sehingga etika sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik dan buruk, maka ukurannya adalah akal pikiran. Atau dengan kata lain, melalui akal orang dapat mementukan nilai baik dan buruknya perbuatan. Dikatakan baik karena akal menentukannya baik, dan sesuatu dianggapnya buruk karena akal menentukannya buruk. Sehingga akal merupakan sumber dasar etika. Disinilah yang membedakan etika dengan yang lainnya. Dengan demikian tidak salah bila dirumuskan bahwa etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh mana yang diketahui oleh akal pikiran.
Berdasarkan pengertian di atas, secara sederhana etika dapat digunakan dalam dua pengertian, yaitu pengertian empiris dan filosofiis. Pegertian empiris ini berdasarkan pada penelitian psikologis dan sosiologis tentang perbuatan manusia yang termotivasi oleh perasaan, kemauan dan pengaruhnya terhadap orang lain. Dan inilah yang biasa disebut etika praktis yang berhubungan dengan prilaku individu maupun kolektif. Sedangkan pengertian filosofis ini merupakan hasil kontempelasi tentang apa yang disebut baik maupun buruk, apa yang boleh dilakukan dan yang dilarang. Sehingga tujuannya adalah untuk menjelaskan norma-norma atau keputusan-keputusan perbuatan manusia tentang nilai-nilai moral, yang sering dianggap sebagai etika teoritis. Etika dalam filsafat dibatasi sebagai filsafat tentang moral, yaitu mengenai kewajiban manusia serta tentang yang baik dan yang buruk, sehingga ia berfungsi menjawab pertanyaan mengenai bagaimana hak orang yang mengharapkan orang lain tunduk terhadap suatu norma dan orang dapat menilai norma itu. Karena etika mempunyai sifat dasar kritis, maka ia juga berfungsi untuk mempersoalkan norma yang berlaku. Etika dapat mengantar orang kepada kemampuan untuk bersikap kritis dan rasional, untuk membentuk pendapatnya sendiri dan bertindak sesuai dengan apa yang dipertanggungjawabkannya sendiri. Hal ini didukung oleh pendapat Franz Magnis Suseno bahwa, Etika dapat menjadi alat pemikiran rasional dan bertanggung jawab bagi si ahli ilmu masyarakat, pendidik, politikus dan pengarang, serta bagi siapa saja yang tidak diombang-ambingkan oleh kegoncangan norma-norma masyarakat sekarang. Karena etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, maka yang dihasilkannya secara langsung bukanlah kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.
Dengan demikian sangat jelas, bahwa etika sangat mendasarkan diri pada kemampuan akal pikiran dalam menentukan baik dan buruk, dan tentunya jelas berbeda dengan istilah moral yang meskipun obyek dan arti etimologinya sama.

2) Moral
Bila kata etika berasal dari Yunani kuno, maka moral ini berasal dari bahasa Latin, yaitu jamak dari mose yang berarti adat kebiasaan. Kedua istilah ini kadang-kadang digunakan dalam pengertian yang sama, karena memang istilah moral dapat disimpulkan bahwa artinya sama dengan etika dalam pengertian nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam suatu masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya dikatakan bahwa perbuatan orang tersebut tidak bermoral. Dengan demikian yang dimaksudkan adalah perbuatan orang itu dianggap melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.
Sebaliknya bila dikatakan orang itu bermoral, maka artinya orang tersebut telah mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang dipegangi oleh masyarakat yang menilainya. Sehingga contoh-contoh di atas memberikan kesan bahwa term moral itu selalu berkonotasi positif. Padahal sebetulnya pengertiannya tidak sesempit itu karena secara harfiah moral itu diartikan adat kebiasaan manusia dalam berperilaku maka ia bisa berkonotasi positif maupun negatif, bisa baik dan bisa buruk tergantung sifat perbuatan itu.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Dictionary of Education, bahwa moral ialah a term used to delimit those characters, traits, intentions, judgments, or acts which can appropriately, be designated as right, wrong, good, bad. Karena moral itu merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai baik atau buruk, benar atau salah, maka moral ini lebih terlihat praktis, dan merupakan penjabaran dari nilai yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan dan perilaku. Artinya istilah moral ini membutuhkan tolok ukur yang digunakan. Kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia (baik atau buruk) dengan tolok ukur akal pikiran, maka dalam pembahasan moral tolok ukurnya adalah norma-norma yang hidup dalam masyarakat, yang dapat berupa adat istiadat, agama dan aturan-aturan tertentu. Dalam hal ini Hamzah Ya’qub mengatakan bahwa yang disebut moral adalah sesuai dengan ide-ide umum tentang tindakan manusia mana yang baik dan yang wajar.
Senada dengan Hamzah Ya’qub, secara detail dalam Ensiklopedi Pendidikan disebutkan bahwa moral adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai hidup (moral) juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menunjukan baik dan buruk. Maka untuk mengukur tingkah laku manusia (baik dan buruk) dapat dilihat dari penyesuaiannya dengan adat istiadat yang umum diterima masyarakat, yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Karena itu dapat dikatakan, baik atau buruk yang diberikan secara moral hanya bersifat lokal. Inilah yang membedakan antara etika dan moral. Perbedaan lain antara etika dan moral adalah etika lebih banyak bersifat teoritis, sedang moral lebih banyak bersifat praktis, etika memandang tingkah laku manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal, etika menjelaskan ukuran yang dipakai, moral merealisasikan ukuran itu dalam perbuatan.

3) Perbedaan Akhlak, Etika Dan Moral
Istilah akhlak, etika dan moral sering digunakan dalam konotasi yang sama dalam percakapan sehari-hari, sehingga seolah-olah tak ada bedanya. Padahal ketiga istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Hal ini dapat dimaklumi karena ketiganya mempunyai obyek yang sama, yakni baik dan buruk.
Perlu dibedakan antara akhlak sebagai perilaku, yang sudah dipaparkan di atas, dan akhlak sebagai ilmu. Akhlak sebagai ilmu dapat dianalogikan dengan etika sebagai ilmu yang pembahasannya menjadi isu filsafat. Salah satu pengertian ilmu filsafat yang cukup mewakili adalah ungkapan Ahmad Amin yang mengatakan bahwa ilmu akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan melakukan apa-apa yang harus diperbuat. Pengertian di atas hampir tidak ada bedanya dengan pengertian etika, sehingga kadang-kadang disamakan antara ilmu akhlak dan etika. Namun jika diteliti secara seksama, maka sebenarnya antara keduanya mempunyai segi-segi perbedaan. Sedangkan pada etika dan moral yang membedakan adalah pada tolok ukurnya. Jika dalam etika untuk menentukan nilai perbuatan manusia (baik atau buruk) dengan tolok ukur akal pikiran maka dalam pembahasan moral tolok ukurnya adalah norma-norma yang hidup dalam masyarakat, yang dapat berupa adat istiadat, agama dan aturan-aturan tertentu.
Inti pengertian di atas adalah harus ada seperangkat nilai yang mengatur manusia untuk berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan, yaitu kebaikan tertinggi (summon banum) yang dalam teori etika tolok ukurnya adalah akal pikiran secara universal tanpa memandang ia hidup di mana dan kapan, serta memeluk agama apa. Sedangkan dalam akhlak (dalam hal ini adalah akhlak Islam) merupakan seperangkat nilai untuk menentukan baik dan buruk tolok ukurnya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Bagi umat Islam al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan way of life untuk mengatur segala perilakunya, sehingga segala perilakunya tidak boleh lepas dari keduanya. Hal ini tidak berarti manusia tidak bebas memilih yang dalam pembahasan akhlak atau etika merupakan unsur utama yang harus dipertimbangkan karena suatu perbuatan dapat dinilai itu harus ada kebebasan. Namun seseorang yang sudah menentukan pilihannya untuk memeluk Islam yang artinya berserah diri dan tunduk pada kemauan Allah, akan terikat pada sistem nilai-nilai Islam. Sebaliknya bila seseorang menentukan pilihannya pada yang lainnya, ia akan terikat dengan sistem nilai-nilai lain, karena tak ada konsep bebas yang mutlak kecuali hanya milik Allah yang tak terikat ruang dan waktu.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa akhlak Islam adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusi di atas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam dengan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber nilainya serta ijtihad sebagai metode berpikirnya. Pola sikap dan tindakan yang dimaksud mencakup pola hubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk dengan dirinya sendiri) dan alam. Pola hubungan dalam akhlak Islam ini saling berhubungan sehingga orang dapat dikatakan berakhlak mulia apabila ia baik hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia maupun dengan makhluk lainnya.

b. Ruang Lingkup Akhlak
Dalam membahas persoalan ruang lingkup akhlak, Kahar Masyhur menyebutkan bahwa ruang lingkup akhlak meliputi bagaimana seharusnya seseorang bersikap terhadap penciptaannya, terhadap sesama manusia seperti dirinya sendiri, terhadap keluarganya, serta terhadap masyarakatnya. Disamping itu juga meliputi bagaimana seharusnya bersikap terhadap makhluk lain seperti terhadap malaikat, jin, iblis, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.
Ahmad Azhar Basyir menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk penghuni, dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai makhluk ciptaan Allah. Dengan kata lain, akhlak meliputi akhlak pribadi, akhlak keluarga, akhlak sosial, akhlak politik, akhlak jabatan, akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap alam.
Dalam Islam akhlak (perilaku) manusia tidak dibatasi pada perilaku sosial, namun juga menyangkut kepada seluruh ruang lingkup kehidupan manusia. Oleh karena itu konsep akhlak Islam mengatur pola kehidupan manusia yang meliputi:
1) Hubungan antara manusia dengan Allah Seperti akhlak terhadap Tuhan
2) Hubungan manusia dengan sesamanya
Hubungan manusia dengan sesamanya meliputi hubungan seseorang terhadap keluarganya maupun hubungan seseorang terhadap masyarakat.
a) Akhlak terhadap keluarga yang meliputi: akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap isteri, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak terhadap sanak keluarga.
b) Akhlak terhadap masyarakat yang meliputi: akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap tamu, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak terhadap sanak keluarga.
3) Hubungan manusia dengan lingkungannya
Akhlak terhadap makhluk lain seperti akhlak terhadap binatang, akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan, dan akhlak terhadap alam sekitar.
4) Akhlak terhadap diri sendiri

c. Dasar-Dasar Akhlak
1) Al-Qur'an
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya:
Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlak sangat mulia. (QS. Al-Qalam:4).
Pujian Allah ini bersifat individual dan khusus hanya diberikan kepada Nabi Muhammad karena kemuliaanakhlaknya. Penggunaan istilah khulukun ‘adhim menunjukkan keagungan dan keanggunan moralitas rasul, yang dalam hal ini adalah Muhammad SAW. Banyak Nabi dan rasul yang disebut-sebut dalam Al-Qur’an, Tetapi hanya Muhammad SAW yang mendapatkan pujian sedahsyat itu. Dengan lebih tegas Allah pun memberikan penjelasan secara transparan bahwa akhlak Rasulullah sangat layak untuk dijadikan standar modal bagi umatnya, sehingga layak untuk dijadikan idola yang teladani sebagai uswah hasanah, melalui firman-Nya:

Artinya:
Sungguh bagi kamu pada diri Rasulullah ituo terdapat suri taula dan yang baik …

2) Al-Hadits
Dalam ayat al-Qur’an telah diberikan penegasan bahwa Rasulullah merupakan contoh yang layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya. Disamping itu, ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa tidak ada satu “sisi-gelap” pun yang ada pada diri Rasulullah, karena semua isi kehidupannya dapat ditiru dan diteladani. Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa Rasulullah sengaja diproyeksikan oleh Allah untuk menjadi “lokomotif” akhlak umat manusia secara universal, karena Rasulullah diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin. Hal ini didukung pula dengan hadits yang berbunyi:

Artinya:
Sesungguhnya saya ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa karena akhlak menempati posisi kunci dalam kehidupan umat manusia, maka substansi misi Rasulullah itu sendiri adalah untuk menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia agar dapat mencapai akhlak yang mulia. Yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana substansi akhlak Rasulullah itu. Dalam hal ini, para sahabat pernah bertanya kepada isteri Rasulullah, yakni Aisyah r.a. yang dipandang lebih mengetahui akhlak rasul dalam kehidupan sehari-hari, maka Aisyah menjawab:

Artinya: Substansi akhlak Rasulullah itu adalah al-qur’an.
Dari jawaban singkat tersebut diketahui bahwa akhlak Rasulullah yang tercermin lewat semua tindakan, ketentuan, atau perkataannya senantiasa selaras dengan al-qur’an, dan benar-benar merupakan praktek riil dari kandungan al-qur’an. Semua perintah dilaksanakan, semua larangan dijauhi, dan semua isi al-qur'an didalaminya untuk dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.

d. Tujuan Akhlak
Tujuan akhlak adalah mencapai kebahagiaan hidup umat manusia dalam kehidupannya, baik di dunia maupun akhirat. Jika seseorang dapat menjaga kualitas mu’amalah ma’allah dan mu’amallah ma’annas, isnya Allah akan memperoleh rida-Nya. Orang yang mendapat rida Allah niscaya akan memperoleh jaminan kebahagiaan hidup baik duniawi maupun ukhrawi.
Seseorang yang berakhlakul karimah pantang berbohong sekalipun terhadap diri sendiri dan tidak pernah menipu apalagi menyesatkan orang lain. Orang seperti ini biasanya dapat hidup dengan tenang dan damai, memiliki pergaulan luas dan banyak relasi, serta dihargai kawan dan disegani siapapun yang mengenalnya. Ketenteraman hidup orang berakhlak juga ditopang oleh perasaan optimis menghadapi kehidupan ukhrawi lantaran mua’amalah ma’alahnya sudah sesuai dengan ketentuan Allah sehingga tidak sedikitpun terbetik perasaan khawatir untuk “mampir” di neraka.
Ketenteraman dan kebahagiaan hidup seseorang tidak berkorelasi positif dengan kekayaan, kepandaian, atau jabatan. Jika seseorang berakhlak al-karimah, terlepas apakah ia seorang yang kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau rendah, memiliki jabatan tinggi, rendah, atau tidak memiliki jabatan sama sekali, insya Allah akan dapat memperoleh kebahagiaan.

e. Urgensi Akhlak
Saat ini kita berada di tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern, melainkan juga mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Teknologi multimedia misalnya, yang berubah begitu cepat sehingga mampu membuat informasi cepat didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya, serta lebih mudah dan enak untuk dinikmati. Namun, di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah cara hidup seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik keluarga yang semula sarat norma susila dan norma susila.
Kita harus kaya informasi dan tak boleh ketinggalan, jika tidak mampu dikatakan tertinggal. Tetapi terlalu naif rasanya jika mau mengorbankan kepribadian hanya untuk mengejar informasi dan hiburan. Disinilah akhlak harus berbicara, sehingga mampu menyaring “ampas negatif “ teknologi dan menjaring saripati informasi positif.
Dengan otoritas yang ada pada akhlakul karimah, seorang akan berpegang kuat pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar pengembangan akhlak, sedangkan fondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah akidah yang kokoh, akhlak, pada hakekatnya merupakan manifestasi akidah. Akidah yang kokoh berkorelasi positif dengan akhlakul karimah.
Mencermati Fenomena aktual di tengah masyarakat kita dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa sebagian hegemoni media secara umum, hegemoni televisi terasa lebih memunculkan dampak negatif bagi kultur masyarakat kita. Tidak dipungkiri adanya dampak positif dalam hal ini, meski terasa belum seimbang dengan “pengorbanan” yang ada.
Televisi yang sarat muatan hedonistis menebarkan jala untuk menjaring pemirsa dengan berbagai tayangan yang seronok penuh janji kenikmatan, keasyikan, dan kesenangan. Belum lagi penayangan film laga yang berbau darah, atau iklan yang mengeksploitasi aurat. Adanya sekat-sekat kultur dipandang tidak relevan di era global ini, sehingga sensor dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan tidak diperlukan lagi. Menghadapi fenomena seperti ini hanya satu tumpuan harapan kita, yakni pendarahdagingan akhlak melalui keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Adanya fenomena yang harus dicermati dan dicarikan solusi. Munculnya mall di kota-kota besar, satu sisi membuat orang betah berbelania di ruang-ruang sejuk yang sarat dengan dagangan tertata rapi dan warna-warni, tetapi disisi lain sebagian mall mulai difungsikan untuk mejeng bagi ABG dan mencari sasaran “pasangan sesaat” dengan imbalan materi maupun kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini gerakan bina moral serentak untuk menanamkan akhlakul karimah serasa tidak dapat ditunda lagi.
Belum lagi munculnya tempat hiburan malam yang dilengkapi dengan minuman keras serta peredaran obat-obat terlarang yang banyak menimbulkah korban-korban generasi muda. Menghadapi persoalan ini di samping perlunya pengawasan orang tua terhadap putera-puterinya di rumah disertai contoh yang baik dalam berakhlakul karimah juga diperlukan tindakan represif dari aparat terkait. Upaya menumbuhkembangkan akhlakul karimah merupakan taggung jawab bersama, yakni keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Keempat institusi tersebut memiliki tanggung jawab bersama untuk mendarahdagingkan akhlakul karimah, terutama di kalangan generasi muda.
Munculnya fenomena amukan massa di beberapa kota besar yang ditandai dengan pembakaran pusat pertokoan, penghancuran tempat ibadah, bahkan perusakan kantor polisi maupun berbagai kalangan. Untuk menghindari terulangnya serangkaian peristwa amukan tersebut, di samping perlu dicari akar masalahnya dan diselesaikan, fenomena tersebut hendaknya dijadikan pemicu gerakan pendidikan moralitas bangsa, dengan menjadikan akhlakul karimah sebagai acuan utama.
Urgensi akhlak semakin terasa jika dikaitkan maraknya aksi perampokan, penjambretan, penodongan, korupsi, manipulasi, dan berbagai upaya untuk cepat kaya tanpa kerja kerjas. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut dilakukan tindakan represif melalui penanaman akhlakul karimah. Tanpa upaya prefentif, segala bentuk upaya represif tiak akan mampu menyelesaikan masalah karena semua pelaku kejahatan selalu patah tumbuh hilang berganti.
Serangkaian fenomena “miring” tersebut merupakan dampak negatif dari modernitas yang ada di tengah-tengah kita. Hidup di era global ini tidak memungkinkan untuk melarikan diri dari kenyataan modernitas. Modernitas tidak perlu dijauhi, karena kesalahannya tidak terletak pada modernitasnya itu sendiri, tetapi pada tingkat komitmen nilai dari moralitas bangsa dan umat dalam merespon arus modernitas yang semakin seulit dibendung.
Didalam menyongsong kemajuan zaman, bangsa Indonesia harus memiliki moral kualitas unggul. Bangsa yang unggul dalam perspektif Islam adalah bangsa yang berakhlakul karimah. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah:

Artinya: Sesungguhnya yang paling unggul di antara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya. (H.R. Bukhari).
Bahkan dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

Artinya: Yang disebut bagus adalah bagus akhlaknya. (H.R. Muslim).

f. Kakteristik Akhlak Dalam Ajaran Islam
Islam memiliki dasar-dasar konseptual tentang ahklak yang komprehensif dan menjadi karakteristik yang khas. Di antara karakteristik tersebut adalah:
1) Akhlak meliputi hal-hal yang bersifat umum dan terperinci.
Di dalam Al-Qur’an ada ajaran akhlak yang dijelaskan secara umum, tetapi ada juga yang diterangkan secara mendetail. Sebagai contoh, ayat yang menjelaskan masalah akhlak, secara umum adalah Q.S. An-Nahl (16):90 yang menyuruh perintah untuk berakhlak secara umum: Untuk berbuat adil, berbuat kebaikan, melarang perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan. Sedangkan contoh ayat yang menjelaskan masalah akhlak secara terperinci adalah Q.S. Al-Huujurat (49):12 yang menunjukkan larangan untuk saling mencela, serta memanggil dengan gelar yang buruk.
2) Akhlak bersifat menyeluruh
Dalam konsep Islam, akhlak meliputi seluruh kehidupan muslim, baik beribadah secara khusus kepada Allah maupun dalam hubungannya dengan sesama makhluk seperti akhlak dalam mengelola sumber daya alam, menata ekonomi, menata politik, kehidupan bernegara, kehidupan berkeluarga, dan bermasyarakat.
3) Akhlak sebagai buah iman
Akhlak memiliki karakter dasar yang berkaitan erat dengan masalah keimanan. Jika iman dapat diibaratkan akar sebuah pohon, sedangkan ibadah merupakan batang, ranting dan daunnya, maka akhlak adalah buahnya. Iman yang kuat akan termanifestasikan oleh ibadah yang teratur dan membuahkan akhlakul karimah. Lemahnya iman dapat terdeteksi melalui indikator tidak teftibnya ibadah dan sulit membuahkan akhlakul karimah.
4) Akhlak menjaga konsistensi dengan tujuan
Akhlak ridak membenarkan cara-cara mencapai tujuan yang bertentangan dengan syariat sekalipun dengan maksud untuk mencapai tujuan yang baik. Hal tersebut dipandang bertentangan dengan prinsip-prinsip ahklakul karimah yang senantiasa menjaga konsistensi cara mencapai tujuan tertentu dengan tujuan itu tersendiri.

g. Akhlak Karimah
Akhlak al-karimah adalah akhlak yang terpuji atau akhlak yang mulia di mata Allah Swt. Akhlak yang terpuji ini merupakan implementasi dari sifat dan prilaku yang baik dalam diri manusia. Akhlak al-karimah dapat dilihat dari sifat, tingkah laku maupun perbuatan nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad SAW tercatat dalam tinta emas sejarah sebagai pembawa perubahan dunia yang paling spektakuler, sebagai suri tauladan umat manusia. Hanya dalam waktu 23 tahun Muhammad telah berhasil mendekonstruksi seluruh kehidupan umat manusia yang sarat kezaliman dan kebiadaban, kemudian merekonstruksinya menjadi sebuah kehidupan yang sarat nilai luhur. Pada masa kelahiran Rasulullah dikenal sebagai zaman jahiliyah atau zaman kebodohan. Sekalipun pada masa itu bangsa arab telah memiliki kebudayaan tinggi bahkan memiliki tingkat kecerdasan rata-rata, tetapi moralitas etika kehidupan mereka sangat rendah. Hanya dalam waktu yang relatif singkat, Muhammad SAW telah mampu membangun moralitas dunia arab atas puing-puing jahiliyah, bahkan mampu membangun peradaban Islam yang akhirnya melebar ke beberapa penjuru dunia.
Rasulullah yang mengorbankan revolusi Islam telah berhasil membawa kemenangan gemilang, meski tidak menyadarkan kekuatan pada perlengkapan perang yang canggih maupun strategi perang yang jitu. Semua kesuksesan perjuangan Rasulullah tersebut lebih banyak ditopang oleh kearifan, keberanian, kesadaran dan keadilan yang didorong oleh semangat menegakkan akhlak al-karimah.
Dengan akhlak, Rasulullah telah memenuhi kewajiban dan menunaikan amanah. Rasulullah mengajak umat manusia untuk bertauhid dan menjauhkan umat dari syirik. Di samping itu, Rasulullah menghargai kepercayaan dan keyakinan orang lain juga dengan akhlak. Dengan akhlak pula Rasulullah menghadapi musuh di medan perang dan membangun negara. Lebih dari itu, Rasulullah dalam kondisi apapun dan berhadapan dengan siapapun senantiasa mempraktekkan akhlak al-karimah secara nyata dan konsisten.
Semua orang yang pernah mengenalnya tidak satupun yang tidak mengagumi perilaku dan akhlaknya, sekalipun ia seorang yang kafir. Kalaupun para pemuka kafir Quraisy membenci Muhammad dan memburunya, adalah semata-mata karena gerakan dakwahnya yang dipandang “subversif” karena dianggap telah berbuat makar terhadap “ilah” mereka yakni dewa-dewa dan patung-patung yang mereka sembah dan muliakan.
Dalam kehidupan berkeluarga, Muhammad telah menunjukkan diri sebagai kepala rumah tangga yang tanpa cacat dalam pandangan semua anggota keluarga, masyarakat sekitarnya, bahkan dalam pandangan semua umatnya. Semua gerak langkah adat kebiasaannya, bahkan keputusan-keputusannya terdokumentasikan dalam sunnah rasul dan diteladani oleh semua umatnya akhir zaman.
Dalam bidang politik Muhammad Saw telah mampu menunjukkan “kelasnya” sebagai politikus terkemuka, semua keputusan dan langkah politiknya mengindikasikan muatan akhlakul karimah. Hal tersebut tercermin melalui kemampuannya untuk meredam konflik antar etnis serta fiksi yang bermuara pada pluralitas, serta penampilannya sebagai sosok demokrat sejati yang mampu mengakomodasi aspirasi dan potensi ummat.
Melalui telaah historis dapat diperoleh serangkaian fakta bahwa sejak masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa tidak diperoleh adanya fakta yang menunjukkan bahwa Muhammad Saw pernah melakukan suatu tindakan yang agak tercela, apalagi tercela. Bahkan lingkungan dimana saja beliau berada sepakat memberinya gelar al-amin, yang berarti orang yang terpercaya. Gelar ini diberikan setelah melampaui ujian panjang dalam kehidupannya yang tidak pernah ada cacat kebohongan sama sekali, bahkan selalu diwarnai kejujuran dan kesantunan.
Akhlak Nabi, yang mencakup sifat, ucapan dan prilakunya adalah cerminan akhlak yang baik (akhlak al-karimah), sehingga beliau menjadi suri tauladan bagi umatnya di seluruh dunia. Sebagaimana dalam firman Allah Swt :

Artinya: Sungguh bagi kamu pada diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik .…
PERTEMUAN 3 - 4
PEMBAHASAN TASAWUF

a. Asal Usul Kata Tasawuf
1) Kata tasawwuf adalah bahasa Arab dari kata suf yang artinya bulu domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian dari bulu domba yang kasar sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah disebutkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi di Irak (wafat tahun 150H).
2) Ahl Al-Suffah, yaitu orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Medinah yang karena kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa-apa. Mereka tinggal di serambi Mesjid Nabi dan tidur di atas batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah. Kata sofa salam bahasa Eropa berasal dari kata Walaupun hidup miskin, Ahl Suffah berhati baik dan mulia. Gaya hidup mereka tidak mementingkan keduniaan yang bersifat materi, tetapi mementingkan keakhiratan yang bersifat rohani. Mereka miskin harta, tetapi kaya
3) budi yang mulia. Itulah sifat-sifat kaum sufi.
4) Shafi yaitu suci. Orang-orang sufi adalah orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniawian dan mereka lakukan melalui latihan yang berat dan lama. Dengan demikian mereka adalah orang-orang yang disucikan.
5) Sophia, berasal dari bahasa Yunani, yang artinya hikmah atau filsafat. Jalan yang ditempuh oleh orang-orang sufi memiliki kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof. Mereka sama-sama mencari kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan.
6) Saf pertama. Sebagaimana halnya orang yang shalat pada saf pertama mendapat kemuliaan dan pahala yang utama, demikian pula orang-orang sufi dimuliakan Allah dan mendapat pahala, karena dalam shalat jamaah mereka mengambil saf yang pertama.

Di antara kelima asal-usul kata tasawwuf, yang disebut pertama lebih banyak disebut para ahli sebagai asal kata tasawwuf. Dalam kisah orang-orang Sufi Masehi dan Yahudi, disebutkan bahwa kebiasaan mereka memakai pakaian yang berasal dari kulit dan bulu domba yang kasar. Dengan pakaian dari bulu domba yang kasar dan sederhana itu orang-orang sufi akan terhindar dari sifat riya dan menunjukkan kezuhudan pemakainya.

b. Pengertian Tasawuf
Untuk menyatakan hakekat tasawuf itu sangat sulit, karena tasawuf menyangkut masalah rohani dan batin manusia yang tidak dapat dilihat. Oleh karena itu ia hanya dapat diketahui bukan hakekatnya, melainkan gejala-gejalanya yang tampak dalam ucapan, cara dan sikap hidup para shufi membuat definisi tasawuf tersebut. Sekalipun demikian para shufi membuat definisi tasawuf berbeda-beda sesuai dengan pengalaman empiriknya masing-masing dalam mengamalkan tasawuf.
Menurut Ma’ruf al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Ahmad al-Jariri ketika ditanya seseorang: Apa itu tasawuf ? Ia menjawab: Masuk ke dalam setiap akhlak yang tinggi (mulia) dan keluar dari setiap akhlak yang rendah (tercela).
Sementara Abu Ya’qub al-Susi menjelaskan bahwa shufi ialah orang yang tidak merasa sukar dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa nafsu.
Definisi-definisi di atas menunjukan betapa besarnya peranan akhlak dalam tasawuf. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf ini dimaksudkan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan pentingnya akhlak atau sopan santun baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk.
Selanjutnya definisi tasawuf ini mengalami perkembangan, hal ini terlihat dari definisi yang dikemukakan Dzu al-Nun al-Mishri bahwa tasawuf adalah usaha mengalahkan segala-galanya untuk memilih Allah, sehingga Allah pun akan memilih seorang shufi dan mengalahkan segala sesuatu. Dari definisi ini, pembahasan tasawuf mulai memasuki wilayah cinta ilahi yang dikenal dengan mahabbat. Shufi adalah orang yang mencintai Allah SWT sampai mengalahkan segala-galanya.
Kemudian definisi tasawuf berkembang lagi dengan datangnya shufi besar, Abu Yazid al-Bustami yang mendefinisikan tasawuf dengan shifat al-Haqqi yalbisuha al-Khalqu (sifat Allah yang dikenakan oleh hambaNya). Hal ini menunjukan adanya perkembangan definisi dari Abu Yazid yang terkenal dengan syafhahatnya, yaitu: idzhar al-bathin bi al-‘ibrat badalan min al-isyarat (mengungkapkan secara lisan akan kondisi bathin atau mengungkapkan pengalaman spiritual yang sebenarnya cukup diisyaratkan).
Lebih jauh Imam al-Junaid mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: al-tashawwuf antakuna ma’a Allah bila ‘alaqat (tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa hubungan). Maksudnya, seorang shufi bersama Allah bukan dalam hubungan antara makhluq dan khaliq, bukan hubungan antara 'abid dan ma’bud. Menurut al-Junaid, selagi masih ada hubungan berarti masih mempertahankan eksistensi diri, masih mengakui keberadaan diri makhluq.
Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn Manshur al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H, karena ia mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari ucapannya: ana Allah...ana al-Haqq (aku adalah Allah....aku adalah yang maha benar).
Di sini timbul pertanyaan: kenapa al-Hallaj demikian keras mempertahankan ucapannya yang melanggar syari’ah sehingga ia menerima hukuman gantung, padahal al-Junaid sebagai gurunya telah memperingatkannya. Alasan al-Halkj: “apa pun yang akan terjadi, saya tetap mempertahankan ucapan ana Allah ... ana al-Haqq, karena saya ingin segera menyatu dengan Allah. Gara-gara jasmani saya, saya menjadi tidak bisa menyatu dengan Allah”. Nampaknya, hukuman gantung bukan hanya tidak ditakuti oleh al-Hallaj, melainkan justru dirindukannya, karena jasad dirinya dianggap sebagai penghalang untuk segera menyatu dengan Allah.
Memperhatikan definisi-definisi tasawuf yang dikemukakan oleh Dzu al-Nun al-Mishri, Abu Yazid al-Busthami, al-Junaid, dan al-Hallaj, dapat dipahami bahwa tasawuf ini tidak lagi menekankan masalah ahlak, melainkan sudah membahas masalah hubungan langsung antara shufi dan Tuhan bahkan berlanjut kepada kemanunggalan antara shufi dan Tuhan.
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki ahlak manusia agar jiwanya menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.

c. Sumber Ajaran Tasawuf
Dalam sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan hadist terdapat ajaran yang dapat membawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasar dalam mistisisme ternyata ada di dalam al-Qur’an dan hadits. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 186 menyatakan:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
Artrinya: Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku. Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika ia panggil Aku.
Kata da’a yang terdapat dalam ayat di atas oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti yang lazim dipakai, melainkan dengan arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil, dan Tuhan memperlihatkan diri-Nya kepada mereka.
Ayat 115 dalam QS. Al- Baqarah juga menyatakan:
وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ
Artinya: Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling disitu (kamu jumpai) wajah Tuhan.
Bagi kaum sufi ayat ini mengandung arti bahwa di mana saja Tuhan ada, dan dapat dijumpai.
Selanjutnya dalam hadits dinyatakan:

Artinya : Siapa yang kenal pada dkinya, pasti kenal pada Tuhan.
Hadits lain yang juga mempunyai pengaruh kepada timbulnya paham tasawuf adalah hadits qudsi yang berbunyi:

Artinya: Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin kenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan merekapun kenal pada-Ku melalui diri-Ku.
Menurut hadist ini, bahwa Tuhan dapat dikenal melalui makhluk-Nya, dan pengetahuan yang lebih tinggi ialah mengetahui Tuhan melalui diri-Nya.

d. Tujuan Tasawuf
Sebelum dikemukakan tujuan tasawwuf, terlebih dulu dijelaskan pengertian “fana” dan “ma’rifat”. Fana dalam arti filosofis adalah meniadakan diri supaya ada Menurut ilmu tasawwuf, fana adalah leburnya pribadi pada kebaqaan Allah, di mana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa Ketuhanan. Dengan fana hilanglah sifat-sifat buruk (maksiat lahir dan maksiat bathin), dan kekalnya sifat-sifat terpuji (taat lahir dan taat bathin). Adapun pengertian ma’rifat adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan, atau melihat Tuhan dengan hati sanubari.
Tujuan tasawwuf adalah “fana” untuk mencapai “ma’rifat”. Dalam hal ini ahli-ahli tasawwuf berkata:

Artinya:
Tasawwuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah.
Tasawwuf mengantarkan manusia untuk mendekatkan diri setingkat demi setingkat kepada Tuhannya, sehingga ia demikian dekat berada di hadirat-Nya.
Dengan demikian maka tujuan terakhir dari tasawwuf itu adalah berada dekat sedekat-dekatnya di hadirat Tuhan, dengan puncaknya menemui dan melihat Tuhannya.
Untuk memantapkan pemahaman Anda tentang pengertian tasawwuf, Anda perlu mengerjakan latihan di bawah ini. Sebaiknya latihan ini Anda kerjakan melalui diskusi bersama teman-teman.

e. Latar Belakang Timbulnya Tasawuf
1) Zaman Nabi
Meskipun secara tekstual tidak ditemukan ketentuan agar umat Islam melaksanakan tasawuf akan tetapi kegiatan tasawuf telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi rasul, ia telah berulang kali pergi ke Gua Hira dengan membawa sedikit perbekalan. Tujuannya disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyembahan berhala, juga untuk merenung dalam rangka mencari hakekat kebenaran yang disertai dengan melakukan banyak berpuasa dan beribadah, sehingga jiwanya menjadi semakin suci.
Peri hidup Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak didasarkan pada nilai-nilai material, nilai-nilai yang bersifat duniawi, misalnya mencari kekayaan pribadi, tetapi bertumpu pada nilai-nilai ibadah, mencari keridhaan Allah Swt Akhlak mereka demikian tinggi, tunduk, patuh kepada Allah, tawadhu’ (merendah diri) dan sebagainya, bagaikan tanaman padi, kian berisi kian merunduk. Peri hidup Nabi dan para sahabatnya yang terpuji (akhlaqul karimah) tersebut antara lain:
a) Hidup zuhud (tidak mementingkan keduniaan).
b) Hidup qanaah (menerima apa adanya).
c) Hidup taat (senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).
d) Hidup istiqamah (tetap beribadah).
e) Hidup mahabbah (sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melebihi cinta kepada dirinya dan makhluk lainnya).
f) Hidup ubudiah (mengabdikan diri kepada Allah).
Sikap hidup seperti tersebut di atas kemudian diikuti oleh kaum sufi, kemudian menjadi sikap hidup mereka.
Dari perilaku kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya serta asal pokok ajaran tasawwuf di atas, dapat kita artikan bahwa hakikat tasawwuf itu adalah mencari jalan untuk memperoleh kesempurnaan hidup rohani. Untuk memperoleh kesempurnaan hidup rohani ini memang tidak mudah, biasanya memerlukan suatu proses, bahkan kadang-kadang proses itu cukup panjang.
Seorang sufi yang ternama pada mulanya juga mengagumi hal-hal yang bersifat lahir, yang dapat diraba dan dirasakan dengan panca-indera, tetapi lama kelamaan kepuasan merasakan sesuatu yang lahir itu berangsur-angsur surut. Maka sirnalah keindahan dunia yang bersifat materi dan mereka mencari kepuasan lain. Mereka menuju alam rohani, yang tidak dapat diraba dengan panca-indera, melainkan hanya dapat dirasakan dengan perasaan halus.
Seseorang tidak dapat memahami dan terjun ke dalam tasawwuf, kecuali sesudah roh dan jiwanya menjadi kuat, demikian kuatnya sehingga ia dapat melepaskan dirinya dari kemegahan dan keindahan duniawi. Peralihan dari ketidakpuasan merasakan nikmatnya keindahan duniawi menuju kepada dunia ghaib ibarat kekaguman seorang anak kecil tentang benda-benda yang terdapat pada alam sekelilingnya. Semua yang pertama kali dilihatnya dirasa indah dan hebat. Ketika perkembangan jiwanya meningkat, sehingga apa-apa yang tadinya dipandang indah dan hebat menjadi kecil dan remeh. Mereka meninggalkan benda-benda itu dan mencari benda-benda yang dapat memuaskan dirinya.
Jadi tasawwuf itu pada dasarnya adalah pindah dari suatu hal keadaan kepada suatu hal keadaan yang lain. Pindah dari alam kebendaan kepada alam kerohaniaan. Sebagai contoh dikemukakan di sini salah satu sisi kehidupan (pengalaman) salah seorang sufi yang terkemuka, yaitu Ibn Arabi. Sebagai manusia, ia merasakan keindahan dunia sebagaimana dirasakan oleh manusia lainnya. Ketika berumur 38 tahun, masa peralihan dari masa muda ke masa tua, ia pergi ke Hejaz dan tinggal serta berguru pada seorang alim ulama di Mekkah. Gurunya itu mempunyai seorang anak perempuan yang cantik jelita, ditambah pula dengan budi bahasanya yang lembut. Perjumpaan Ibn Arabi dengan anak perempuan gurunya itu sangat mengganggu pikirannya. Ia ingin selalu dekat dengan orang yang disenanginya itu. Siang dikenang, malam diimpikan. Banyak sudah karangan yang telah ditulisnya, hanya untuk menggambarkan kekaguman dan kecantikan orang yang dicintainya. Demikian indahnya rangkaian kalimat yang diciptakan Ibn Arabi sehingga dapat menjelaskan kepada kita bahwa besar dan kuatnya rasa cinta terhadap keindahan alam lahir dapat mempengaruhi sikap seseorang. Demikianlah perasaan yang pernah dialami Ibn Arabi. Salah satu kalimat curahan perasaan yang bersifat kesenangan duniawi terungkap dalam perkataannya, “Demikian rupa hatiku terpikat olehnya, pikiran dan jiwaku seakan-akan terbelenggu, sehingga yang kutuju, setiap nama yang kusebut, namanyalah yang kukehendaki, setiap kampung kampungnyalah juga seakan-akan yang kumasuki.”
Kata-kata Ibn Arabi tersebut menunjutkan bagaimana keadaan seseorang yang telah tenggelam dalam merasakan nikmat pendengaran, penglihatan, dan perasaan hati. Jika pengaruh itu tidak segera dibersihkan, maka manusia tidak dapat melepaskan diri dari kecintaannya terhadap dunia yang bersifat materi ini. Ibn Arabi menyadari akan maksud dan tujuannya datang ke Mekkah ini, ia teringat akan cita-citanya semula. Lalu ia berusaha untuk dapat melepaskan diri dari belenggu syahwat yang telah mengikat alam pikirannya. Ikhtiar Ibn Arabi semacam ini dapat kita katakan permulaan menjauhkan diri dari kesenangan lahir menuju pada kesenangan rohani, yang boleh kita anggap peralihan kepada tingkat iman yang lebih tinggi.
Perhatian Ibn Arabi beralih dari bumi ke angkasa raya, meningkat bersama panggilan jiwanya ke langit, kepada keindahan bintang-bintang yang bertaburan di cakrawala. Pandangannya berpindah dari ruang yang sempit ke dunia luar yang lebih luas dan kepada keindahan yang lebih menakjubkan serta mengagumkan. Ia duduk termenung pada malam hari yang sepi, sambil bertopang dagu, melihat dengan asyiknya keindahan bintang-bintang.
Dari contoh di atas dapat kita ketahui bahwa orang-orang sufi meletakkan makna hidup itu lebih tinggi daripada hidup biasa. Kadang-kadang sampai demikian tingginya, sehingga sulit difahami oleh orang biasa. Jika mereka membicarakan suatu hukum dalam Islam, maka yang dipentingkan adalah tujuan dari hukum itu, sehingga sering ijtihad mereka kelihatannya seolah-olah berbeda dengan pengajaran-pengajaran ilmu fiqih biasa.
Tasawwuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan aliran-alkan mistik di luar Islam ingin memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari tasawwuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi (semedi). Banyak ayat Al-Qur’an yang menganjurkan kepada manusia agar merenungi alam raya ini dan juga diri manusia sendiri. Dengan demikian manusia akan mengingat zat penciptanya. Kekaguman akan keindahan alam, diri manusia, lambat laun akan tercurah rasa rindu untuk dekat kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Jika hidup kerohanian (hidup sufi) telah merasuki sendi-sendi kehidupan seseorang, maka tidaklah ia merasa hina dihadapan manusia lainnya sekalipun dengan pakaian bulu domba (suf) yang kasar. Ia menjadi zuhud (tidak terpikat pada kemewahan dunia, ta’abud (berbakti), qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada), dan ikhlas. Hidup kerohanian semacam ini telah dimulai oleh Nabi Muhammad saw, bahkan oleh Nabi-nabi terdahulu, termasuk Ulul Azmi, yaitu: Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, dan Nabi Isa as.
Mengenai kehidupan Nabi Muhammad saw telah banyak diceritakan, betapa kesederhanaan rumah tangga beliau sehari-hari. Jangankan perabot rumah tangga yang serba mewah dan makanan yang lezat-lezat, alat-alat rumah tangga yang sederhana saja tidak lengkap begitu juga dalam hal makanan, makanan yang biasa untuk makan sehari-hari saja kadang tidak ada. Ia tidur di atas sepotong tikar bukan di atas kasur yang empuk, makanan yang dihidangkan istrinya hanyalah sepotong roti kering yang dengan segelas air minum, dengan sebutir korma atau dua butir korma.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari diceritakan bahwa Aisyah pernah mengeluh kepada keponakannya, Urwah, seraya berkata, “Urwah, lihatlah, kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak menyala dan aku bingung karenanya”. Urwah bertanya, “Jadi, apakah yang kamu makan sehari-hari?” Aisyah menjawab, “Paling untuk yang menjadi pokok itu adalah korma dan air, kecuali jika ada tetangga-tetangga Anshar mengantarkan sesuatu kepada Rasulullah, maka dapatlah kami merasakan seteguk susu”. Rasulullah menegaskan, “Kami adalah golongan yang tidak makan kecuali kalau lapar dan jika kami makan tidaklah sampai kenyang”.
Dikisahkan pula pada suatu hari Rasulullah pergi ke masjid. Disana ia berjumpa dengan Abu Bakar dan Umar. Ia bertanya, “Apa yang menyebabkan sahabat-sahabat ini keluar masjid?” Abu Bakar dan Umar menjawab, “Untuk menghibur diri dari lapar”. Rasulullah berkata pula, “Aku pun keluar untuk menghibur laparku. Marilah kita pergi ke rumah Abul Hasim, barangkali di sana ada sesuatu yang boleh di makan.
Rasulullah sering berpuasa sunat, maksudnya antara lain agar saat-saat lapar itu tidak sia-sia, tetap dalam ibadah kepada Allah. Kerap kali pula ia beribadah di mesjid. Setelah beberapa waktu berada di mesjid, ia pulang ke rumahnya dan bertanya kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, adakah hari ini sesuatu yang dapat dimakan?” Tatkala Aisyah menjawab bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat dimakan, ia kembali lagi ke mesjid dan menghabiskan waktunya untuk sembahyang sunat. Beberapa saat kemudian ia kembali ke rumahnya dan bertanya kepada Aisyah tentang makanan, Aisyah menjawab seperti jawaban semula. Hal seperti itu dilakukan Rasulullah sampai beberapa kali dan mendapat jawaban yang sama, sampai akhirnya ia mendapatkan sepotong roti di rumahnya dari pemberian Usman bin Affan.
Aisyah menerangkan lebih lanjut bahwa keluarga Muhammad dalam sehari tidak pernah makan sampai dua kali. Makanan disimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti untuk dimakan tiga orang.
Nabi Muhammad-lah yang pertama kali memberikan contoh tentang hidup sederhana, tentang menerima apa adanya, menjadikan hidup rohani lebih tinggi daripada hidup kebendaan yang mewah penuh ria, dan mengajak manusia untuk meninggalkan berburu kekayaan duniawi berlebihan sehingga melupakan tujuan hidup manusia yang pokok. Ia pula yang mengajarkan bahwa kekayaan dan kesenangan duniawi itu tidak abadi, oleh sebab itu ia mengajak kepada manusia untuk meraih kelezatan hidup yang lebih tinggi dan abadi, yakni dengan mendekatkan diri kepada zat Yang Maha Pencipta, Maha Kuasa, Allah SWT. Hidup kerohanian tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya :
Tidak Kami ciptakan manusia dan Kami Tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami dekat kepada manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya. (QS. Al-Qaf : 16)
juga firmannya lagi:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
Artinya:
Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat, dan aku akan mengabulkan seruan yang memanggil jika Aku dipanggil (doa orang yang memanjatkan doa). (QS. Al-Baqarah :186)
Dari Ibnu Mas’ud diceritakan bahwa ia pernah masuk ke rumah Rasulullah dan didapatinya Rasulullah sedang berbaring di atas sehelai anyaman daun korma sampai memberikan bekas pada pipinya. Dengan rasa haru Ibnu Mas’ud bertanya, “Rasulullah, apakah tidak baik kalau aku mencarkan sebuah bantal untukmu?” Rasulullah menjawab, “Aku tidak memerlukan itu. Aku di dunia adalah laksana seorang yang sedang bepergian, sebentar berteduh di kala hari sangat terik di bawah naungan pohon kayu yang rindang untuk kemudian berangkat lagi dari situ ke arah tujuannya”.
Sehubungan dengan harta benda dikisahkan pula bahwa pada suatu hari pernah diletakkan di hadapan Rasulullah tujuh puluh ribu dirham emas, pada hari itu juga semua uang emas itu dibagi-bagikan tanpa sekepingpun yang tertinggal. Dalam kaitan dengan hal ini diceritakan pula dalam sejarah bahwa ketika Nabi sedang sakit dan menjelang akhir hayatnya, ia teringat bahwa di rumahnya masih tersimpan tujuh buah dinar emas. Dalam keadaan sakit payah, ia memanggil ahli rumahnya untuk segera membagi-bagikan mata uang tersebut kepada fakir miskin. Cerita ini dibenarkan oleh Aisyah yang mengaku bahwa ia lupa kalau ia menyimpan uang itu, karena kesibukan mengurus Nabi yang sedang sakit Tatkala orang bertanya kepadanya, apa yang diperbuatnya dengan tujuh dinar itu, ia menjawab, bahwa ia segera pergi mengambilnya dan menyerahkan kepada Rasulullah Aisyah bertanya mengenai bagaimana perasaan Rasulullah ketika menghadap Tuhan dengan mata uang di tangannya. Lalu Rasulullah membagi-bagikan mata uang itu kepada fakir-miskin, sedangkan ia sendiri pergi menghadap Tuhannya dengan pakaian yang kasar.
Begitu kesederhanaan Rasulullah, sehingga pada waktu wafat pun ia tidak meninggalkan untuk keluarganya uang barang sedinar atau sedirham pun.
Abdurahman bin Auf menceritakan, bahwa pada waktu Nabi wafat tidak ada sesuatu yang ditinggalkannya, kecuali sepotong roti, sebilah pedang, dan seekor keledai yang biasa menjadi tunggangannya sehari-hari, serta sebidang tanah yang sudah diwakafkan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tabrani, dan Baihaqi, Rasulullah bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, supaya Tuhan mencintaimu. Dan Zuhudlah pada yang ada di tangan manusia supaya manusia pun cinta akan engkau.
Hidup secara zuhud sudah dilakukan Rasulullah sebelum ia menjadi Rasul Ketika itu Muhammad suka menyendiri, berkhalwat atau bertafakur di Goa Hira. Di sana ia memikirkan dan merenungi alam raya ini dengan segala isinya. Ia renungi semua itu dengan mata hatinya. Dengan demikian pandangan lahir bathinnya menjadi sangat bersih dan suci, kepribadiannya sangat sempurna. Ia memang seorang manusia seperti kita, tapi qalbu yang ada di dalam dirinya bersih dan suci, sehingga ia dapat dengan cepat menerima dan merasa apa yang bersifat suci. Sungguh layak jika Muhammad menerima wahyu dari Yang Maha Suci. Fiman Allah:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحاً مِّنْ أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُوراً نَّهْدِي بِهِ مَنْ نَّشَاء مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy Syuura: 52)
Menurut Syekh Abdul Baqy Surur, bahwa tahannus Rasulullah di Goa Hira, merupakan cahaya-cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf, itulah cikal-bakal atau benih-benih pertama bagi kehidupan kerohanian yang disebut dengan ilham hati atau renungan-renungan Ruhaniyat.
Cara hidup Nabi di Goa Hira merupakan gambaran yang lengkap bagi kehidupan sufi. Renungan-renungan Nabi di Goa Hira mengenai alam raya membawanya untuk merasakan kebesaran dan keagungan Allah. Di tempat yang sunyi sepi itu pula Nabi melupakan dan memutuskan hubungan, menjauhkan ingatan dari semua makhluk, hanya ada satu dalam ingatannya, yakni Allah Swt.
Menurut para ahli tasawuf, cara-cara yang dilakukan Nabi di Goa Hira merupakan jalan-jalan pertama dan utama untuk sampai kepada kasyaf, untuk memperoleh limpahan-limpahan ilham dan untuk memperoleh isyraq atau pancaran Nur dari Allah. Semua itu ibarat jalan adalah jalan yang mendaki, yakni pendakian bathin ke arah usaha menghubungkan diri dengan Allah yang Maha Pencipta dan Maha Agung. Sesudah menjadi Rasul, Rasulullah meneruskan taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan berzikir, istighfar, shalat tahajud sampai jauh malam. Ia memperkuat bathinnya dengan menjalani hidup kerohanian.
Untuk itulah Rasulullah menyediakan ruangan khusus di samping mesjid Madinah untuk tempat tinggal dan pendidikan dalam ilmu agama untuk para sahabat Nabi yang ikhlas mengikuti perjuangan Nabi menyebarkan Islam dan mau menjalani hidup kerohanian. Mereka itu disebut Ahl Suffah. Pada mulanya jumlah mereka 400 orang, lambat laun bertambah sampai berlipat ganda. Mereka mempunyai akhlak yang luhur, iman dan keyakinan mereka sangat kuat, ketawakalan dan keikhlasan mereka sangat luhur. Rasulullah pernah berkata kepada Abu Hurairah, “Ahl Suffah itu adalah tamu-tamu orang Islam, mereka tidak mempunyai keluarga, tidak mencintai harta benda, dan tidak terikat kepada seseorang manusia pun, hatinya hanya tertuju kepada Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah keteladanan hidup kerohanian dari Rasulullah kemudian menjadi contoh sikap hidup para sahabatnya. Imam Ghazali berpendapat, “Bahwa aku yakin benar-benar kaum suffi itulah yang telah menempuh jalan yang dicontohkan oleh Nabi dan yang dikehendaki oleh Allah Taala.”

2) Zaman Sesudah Nabi
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, kekhalifahan Islam diteruskan oleh para sahabatnya, yakni Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Meskipun menjadi khalifah atau kepala negara yang biasanya hidup serba mewah, namun cara-cara hidup mereka tidak sedikitpun mencerminkan hidup mewah sebagaimana kehidupan raja-raja pada umumnya. Mereka tetap hidup sederhana, wara’, tawadhu’, zuhud sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi.
Sebagai contoh berikut ini dikemukakan salah satu sisi dari kehidupan para khalifah tersebut. Menurut riwayat bahwa Abu Bakar Siddiq hidup dengan sehelai kain saja. Terhadap lidahnya sendiri ia berkata, “Lidah inilah yang senantiasa mengancamku”. Dan ia berkata pula, “Apabila seorang hamba Allah telah dimasuki rasa berbangga diri karena sesuatu dari hiasan dunia ini, Maka Allah akan murka kepadanya, sampai perhiasan itu diceraikannya.”
Pandangan hidup beliau adalah bahwa sifat dermawan adalah buah dari taqwa, kekayaan adalah buah dari keyakinan dan martabat didapat sebagai buah dari tawadhu’.
Umar bin Khatab pun memiliki jiwa yang bersih dan kesucian rohani yang tinggi. Rasulullah pernah berkata tentang diri Umar, bahwa Allah telah meletakkan kebenaran di ujung lidah Umar dan hatinya. Pangkat khalifah yang merupakan kekuasaan tertinggi tidak mengurangi nilai kehidupan rohaninya, bahkan sejak menjadi khalifah kehidupan kerohaniannya semakin ia tingkatkan. Pernah pada suatu ketika datang kiriman zakat dari negeri Yaman, lalu diadakan pertemuan besar, karena Khalifah hendak memberikan nasihatnya. Dalam nasihat tersebut ia mengharapkan agar semua yang hadir mematuhi nasihatnya. Tiba-tiba salah seorang yang hadir berdiri seraya berkata, “Kami tidak akan taat kepada engkau ya, Amirul Mukminin!”. Khalifah bertanya, “Mengapa?” Lalu orang itu berkata pula, “Bagaimana kami akan taat, Tuan membagi-bagikan zakat kiriman yang dari Yaman ini kepada orang lain, sementara Tuan hanya mengambil sebagian kecil saja, padahal pakaian Tuan hanya satu persalinan, tidak ada pakaian musim panas dan tidak ada pakaian musim dingin. Sebelum tuan mengambil satu persalinan lagi, kami tidak akan taat” Mendengar sanggahan orang itu khalifah Umar merasa sulit untuk menjawab, lalu ia berpaling kepada puteranya yang bernama Abdullah, dan berkata, “Hai Abdullah, bagaimana menurut pendapatmu?” Abdullah pun berdiri dan berkata kepada penyanggah itu, “Jika masalahnya hanya pakaian yang satu persalinan lagi, biarlah saya yang akan menanggungnya.” Mendengar jawaban Abdullah, orang yang menyanggah tadi merasa puas dan menyatakan akan patuh dan taat kepada khalifah.
Usman bin Affan adalah Khalifah yang ketiga. Ia adalah seorang Khalifah yang berada. Walaupun ia banyak harta, tetapi ia tetap memperhatikan hidup yang sederhana. Hartanya digunakan untuk menolong yang lemah, untuk perjuangan mengembangkan agama Islam. Ia terkenal orang yang senantiasa membaca dan menelaah Al-Qur’an, Tentang Al-Qur’an ia pernah berkata, “Ini adalah surat yang dikirim oleh Tuhan-Ku. Tidak layak jika ada seorang hamba melalaikan surat dari tuannya. Hendaklah senantiasa dibaca, agar supaya segala isi surat itu dapat dijalankannya.” Menurut riwayat, Usman bin Affan wafat dibunuh oleh pemberontak ketika sedang membaca Al-Qur’an.
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak kurang ketinggian hidup kerohaniannya. Dalam tugas-tugasnya yang besar dan mulia, menyebabkan ia tidak perduli bahwa pakaian yang dikenakannya telah robek. Ketika pakaiannya robek, ia sendiri yang menambalnya. Pernah orang bertanya, “Mengapa sampai begini, Amirul Mukminin?” Beliau menjawab, “Untuk mengkhusyu’kan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang yang beriman.
Selain dari sahabat Nabi yang empat sebagaimana disebutkan di atas, hidup kerohanian juga dilaksanakan oleh sahabat-sahabat vang lain, di antaranya adalah Huzaifah bin Yaman. Ia terkenal salah seorang sahabat Nabi yang zahid.
Ia menjadi tempat bertanya pula mengenai ilmu yang pelik-pelik. Umar sering datang kepada Huzaifah untuk menanyakan apakah pada dirinya terdapat kesalahan atau tanda-tanda munafik, atau apa sikap-sikap yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, kadang-kadang Huzaifah mengecam Umar dan Umar pun dengan ikhlas memperbaiki atas segala kekhilafannya.
Kepopuleran Huzaifah tersebar ke daerah-daerah di luar negeri Arab. Demikianlah, Hasan Basri, seorang tokoh sufi yang terkenal datang berguru kepada Huzaifah.
Sahabat lain yang dengan tegas menentang gaya hidup mewah adalah Abu Dzar Al-Ghiffari. Ia melihat bahwa ketulusan beragama sudah mulai lemah, karena pengaruh harta, dan justru hal yang demikian, bahkan pula dilakukan oleh gubernur Muawiyah, yang semestinya menjadi teladan dengan berani dan terus terang menentang pengumpulan harta benda untuk kepentingan diri sendiri. Abu Dzar berpegang kepada ayat Al-Qur’an:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya: Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka berita bukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (Q.S At-Taubah:34)
Sikap Abu Dzar yang demikian, oleh Muawiyah dipandang sebagai pengganggu ketenteraman umum, Abu Dzar dituduh telah membangkang terhadap pemerintah yang sah dan melemahkan semangat perjuangan. Fitnah ini disampaikan kepada Khalifah Usman. Akibatnya, Khalifah Usman mengasingkan Abu Dzar ke luar kotaMadinah, ke sebuah dusun bernama Rizbah.
Dengan peristiwa yang dialami Abu Dzar ini, mulailah muncul golongan kaum Zahid, yaitu golongan yang mengutamakan hidup kebathinan dan kerohanian.
Setelah Abu Dzar orang yang terkenal menentang cara hidup mewah pada masa sahabat, terkenal pula nama Said bin Zubair seorang tabi’in yang kuat pribadinya. Ia seorang zahid yang betul berani mengusir siapa saja yang bersalah, walaupun yang bersalah itu seorang Khalifah, ia mengangkat Gubernur Irak, seorang tokoh yang gagah perkasa, namun terkenal kejam, bernama Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi. Hajjaj tidak segan-segan membunuh orang untuk menegakkan kekuasaan Bani Umayah. Melihat tindakan semena-mena itu, Sa’id Zubair sangat kecewa. Ia tidak takut sedikitpun kepada keperkasaan Hajjaj dan tetap berani menegurnya. Tentu saja Hajjaj merasa tersinggung. Maka dituduhnya seorang pencinta Ali, bermadzhab Syi’ah, yaitu Mashab yang sangat dibenci saat itu. Sa’id pun ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Ketika akan dibunuh, Hajjaj berkata kepada algojo, “Jangan hadapkan mukanya ke arah kiblat, biar dia mati membelakangi kiblat. Sa’id menjawab, “Kemana pun engkau hadapkan mukaku, disanalah wajah Allah.”


f. Pembahasan Akhlak Tasawuf
Hubungan antara akhlak dengan tasawuf sangatlah erat bisa dikatakan seperti dua mata uang, karena untuk mencapai akhlak yang mulia diperlukan proses-proses yang biasanya dilakukan oleh kalangan mutashawwifin (pengamal tasawuf). Sementara bagian yang terpenting dalam tasawuf adalah pencapaian akhlak yang mulia disamping hal-hal yang terkait dengan kebutuhan.
Apa yang dilakukan kalangan mutashawwifin akhirnya akan membuahkan pada akhlak mulia. Namun demikian tidak semua kajian dan pengalaman tasawuf masuk ke bidang akhlak. Oleh karena itu akhlak tasawuf adalah proses-proses pencapaian akhlakul karimah melalui metode tasawuf yang diilhami oleh kehidupan para salafus shalih.
Akhlak tasawuf ini menjadi penting untuk menghindari kajian akhlak yang hanya berada pada tataran pemikiran dan wacana yang tentu akan jauh untuk dapat memberikan bekas pada mahasiswa menjadi orang-orang yang memiliki akhlak mulia. Dilain pihak akhlak tasawuf juga berguna untuk membatasi kajian salah satu aspek dalam dunia tasawuf, yaitu tasawuf akhlaki, yang berarti mengesampingkan tasawuf falsafi.
Secara singkat akhlak tasawuf memfokuskan pada dataran Tazkiyah al-Nafs (penyucian jiwa) yang sering diistilahkan juga dengan tathahur, tahaquq dan takhaluq, membersihkan diri dari sifat madzmumah (tercela) dan menghiasi dengan akhlak mahmudah (terpuji). Hal yang perlu di perhatikan adalah faktor dari sekedar fikri (pemikiran) dan nadzari (teoritis).
Selama ini terlalu banyak orang berbicara akhlak akan tetapi tidak bisa memberi sibghah menjadikan mahasiswa berakhlakul karimah. Hal ini terjadi karena pembahasan akhlak biasanya hanya berbicara pada ranah kognitif tanpa disertai ranah afektif dan psikomotorik. Yang terjadi banyak mahasiswa mendapatkan nilai tinggi dalam mata kuliah akhlak akan tetapi rendah akhlaknya. Sehingga dari penyajian akhlak tasawuf secara komprehensif ini diharapkan pembelajaran akhlak dapat diperoleh hasil semaksimal.
PERTEMUAN 5
SUMBER-SUMBER AKHLAK TASAWUF

1. Sumber-Sumber Akhlak Tasawuf
Perlu diberikan penjelasan lebih dahulu mengapa kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits dijadikan dasar pokok ajaran Islam. Seperri diketahui, umat Islam memahami dan meyakini agama Islam sebagai agama “wahyu”. Artinya ajaran agama Islam dibangun dan didasarkan dari hasil pemikiran, penalaran, perenungan dan semacamnya, melainkan berdasar "wahyu". Wahyu dipahami dan diyakini umat Islam secara keseluruhan sebagai kalam Allah SWT (Ucapan Allah SWT) yang tersalurkan pesan-pesan yang dimuat di dalamnya kepada umat manusia lewat perantaraan utusan Allah SWT. Kalam Allah SWT ini tidak pernah diintervensi (dicampuri) oleh manusia dalam hal ini para utusan Allah SWT, baik dari segi substansi materi maupun instrument kebahasaannya. Begitulah yang diyakini oleh umat manusia secara keseluruhan sepanjang kesejarahannya. Sementara itu, penjelas dalam rangka implementasi konkret kalam Allah SWT tersebut dalam kehidupan nyata sehari-hari umat manusia, utamanya umat Islam, maka pada ucapan, perbuatan dan persetujuan (taqrir) utusan Allah SWT dalam hal ini Rasulullah Muhammad SAW, yang disebut al-Hadits. Secara ringkas, al-Hadits merupakan jabaran fungsional-praktikal dari al-Qur'an yang menyebabkan al-Qur’an jadi living (hidup) dalam praktek kehidupan, terutama pada masa Rasulullah SAW hidup. Sementara itu pula metode dan prosedur untuk memahami muatan al-Qur’an disebut ilmuTafsir.
Oleh karena ajaran Islam memiliki dasar pokok berupa Qur’an dan al-Hadits, maka dengan sendirinya Akhlak Tasawuf yang menjadi bagian dari hasil pemahaman terhadap ajaran Islam itupun sumbernya juga harus dari al-Qur’an dan al-Hadits.

2. Sumber Al-Qur’an dan Al-Hadits
a. Sumber Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut bahasa berarti “bacaan” atau yang dibaca. Al-Qur’an adalah masdar yang diartikan dengan ism maf’ul yaitu maqru berarti yang dibaca.
Menurut istilah ahli syara’ al-Qur’an ialah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat bagi beliau, wahyu itu diturunkan dalam bahasa Arab dan disampaikan kepada masyarakat ramai secara mutawatir, baik dengan lisan maupun tulisan, dan orang yang membaca wahyu mendapat pahala dari Allh SWT.
Allah SWT menurunkan al-Qur’an secara berangsur-angsur, sehingga penurunan seluruhnya memakan waktu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari, yakni mulai dari malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW hingga tanggal 9 Dzulhijjaah hari haji wada’ tahun ke 10 H, atau tahun 63 dari hari kelahiran Nabi. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6236 ayat. Sedang kalimatnya menurut hitungan sebagian ahli 74434 dan hurufnya 325345 huruf. Semuanya dinukilkan kepada manusia secara mutawatir.
Sebagai patokan hukum agama Islam, Al-Qur’an di dalamnya terdapat nash-nash yang juga mengupas tentang akhlak tasawuf.
Istilah Akhlak Tasawuf terdiri dari dua kata yaitu, akhlak dan tasawuf. Berikut ini akan dipaparkan sumber dari al-Qur’an mengenai akhlak dan tasawuf.
1) Akhlak
Dalam al-Qur’an kata yang berkaitan dengan akhlak diantaranya adalah surat as-Syu’ara’ ayat 137, yang berbunyi:
إِنْ هَذَا إِلَّا خُلُقُ الْأَوَّلِينَ
Artinya: (Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang dahulu.
Lalu dalam surat al-Qalam ayat 4 berbunyi:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlak sangat mulia.
Dua ayat ini, baik dilihat dari asal kata dan muatan kata, dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa istilah akhlak memang terdapat dalam al-Qur’an. Hanya saja bila dilihat dari konteks ayat, terdapat perbedaan muatan akhlak di dalamnya. Dalam surat as-Syu’ara ayat 137 istilah akhlak diartikan sebagai “adat kebiasaan buruk” dari seorang umat nabi Hud AS., sedangkan istilah akhlak yang termuat dalam surat al-Qalam ayat 4 adalah dalam konteks budi pekerti yang agung atau luhur” dari sosok nabi Muhammad SAW. Berdasarkan keterangan tersebut, maka akhlak dapat disebut “akhlak yang baik” dan juga disebut “akhlak yang buruk”.



2) Tasawuf
Istilah tasawuf secara eksplisit kebahasaan tidak pernah disebut dalam al-Qur’an. Sebagian besar ulama tasawuf sepakat bahwa masalah tasawuf tersebut secara implisit (tersirat) dan termuat dalam istilah “zuhud”. Sementara itu istilah zuhud ( ) yang berarti orang yang tidak merasa tertarik terhadap sesuatu, hanya terdapat satu kali ditulis dalam al-Qur’an yaitu dalam surat Yusuf ayat 20:
وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ وَكَانُواْ فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ
Artinya: Dan mereka menjual yusuf dengan harta yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka (anggota kafilah dagang) itu tidak merasa tertarik hati mereka terhadapnya (Yusuf).
Dari cara penelusuran payung ayat seperti di atas, maka banyak konsep dalam ajaran Tasawuf (yakni ajaran tasawuf yang telah disistem menjadi sebuah disiplin ilmu fann al-‘ilm) yang dicari-carikan paying ayatnya dalam al-Qur’an, sekedar contoh yang dikutipkan dari beberapa kata kunci mengenai maqam (terminal ruhani), antara lain kata-kata kunci: taubat, sabar, faqr, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma’rifah, ridha dan sebagainya.
Kata kunci “taubat” antara lain di dasarkan pada Surat al-Baqarah ayat 222:
إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya : . . . .Seseungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan Dia menyukai orang-orang yang menyucikan diri.|
Kata kunci “sabar” antara lain didasarkan pada surat al-Mu’min atau Ghafir ayat 55 yang berbunyi:
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ
Artinya: Maka bersabarlah engkau, karena sesungguhnya janji Allah itu benar.....
Kata kunci “Faqr”' dikaitkan dengan surat Thaha ayat 2:
مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
Artinya: Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar menjadi sengsara.
Kata kunci “tawakkal” dikaitkan dengan surat ath-Thalaq ayat 3 berbunyi:
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Artinya: ....dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.
Kata kunci “mahabbah” dikaitkan antara lain dengan surat Ali Imran ayat 31:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

Artinya: Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan Dia akan mengampuni dosa-dosamu....”
Kata kunci “ma’rifah” dikaitkan antara lain dengan surat Qaf ayat 16:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

Artinya: Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat dengannya daripada urat lehernya.
Yang terakhir kata kunci “ridla” dikaitkan dengan surat al-Maidah ayat 119:
رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: ....Allah ridla terhadap mereka dan merekapun ridla terhadap-Nya; itulah keberuntungan yang sangat besar.
Mencermati contoh-contoh ayat di atas, maka dalam peristilahan maqam ada beberapa kata kunci yang dari asal kata-katanya memang dapat dirujukan pada al-Qur’an, seperti kata kunci “taubat” (Surat al-Baqarah ayat 222), “sabar” (Surat al-Mu’min/Ghafir ayat 55), “zuhud” (Surat Yusuf ayat 20), “tawakkal” (Sura at-Thalaq ayat 3), “mahabbah” (Surat Ali Imran ayat 31), “ridla” (Surat al-Maidah ayat 119). Sementara itu kata kunci “faqr” (Surat Thaha ayat 2) dan kata kunci “ma’rifah” (Surat Qaf ayat 16) dipahami secara implisit terhadap muatan pesan ayat-ayat tersebut.

Selain itu kandungan al-Qu’an juga memuat ajaran-ajaran tasawuf, antara lain:
a) Memperbaiki aqidah dan meluruskan aqidah umat yang sudah rusak binasa oleh kehendak nafsu buruk.
b) Menetapkan aturan-aturan hukum dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan benda.
c) Membersihkan hati, sehingga haluan hidup tampak dengan jelas. Karena hati yang telah bersih akan menumbuhkan perangai-perangai yang terpuji dan akhlak yang mulia. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

Artinya: Hai manusia telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan pernyembah bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Al-Qur’an ini yang menjadi sumber pertama dan utama dari tasawuf Islam. Dari al-Qur’an ini dapat digali pelajaran-pelajaran untuk menjadi obat hati dan penawar jiwa yang sedang menderita penyakit-penyakit riya’, hasad, takbur, ujub dan sebagainya.
d) Kandungan al-Qur’an yang lain ialah kisah-kisah umat purbakala seperti kaum ‘Ad, Tsamud dan lain-lain, atau kisah-kisah pribadi seperti kisah para Rasul, Khidir, Dzul Qarnain dan sebagainya yang semuanya itu untuk menjadi wa’ad dan wa’id atau menjadi targbib yang menggemarkan orang berbuat taat dan menakuri mereka dari berbuat jahat. Yang juga patut dicatatkan di sini dalam kaitannya dengan pencarian sumber dalam ayat-ayat al-Qur’an ini adalah bahwa nampaknya para shufi (pelaku kehidupan thasawuf) lebih merasa mantap jika dasar aktifitas ketasawufan mereka itu dapat didukung dalam al-Qur’an. Sebabnya adalah bahwa sumber dalam ayat-ayat al-Qur’an itu kewibawaannya dianggap lebih tinggi dari pada diambilkan dari al-Hadits, misalnya. Kemantapan seperti ini antara lain disebabkan al-Qur’an oleh seluruh umat Islam tidak diragukan lagi kebenarannya, baik dari segi susunan kebahasaan, redaksi dan isi pesannya. Sementara itu keshahihan al-hadits masih perlu dikoreksi. Sebab, harus diakui tidak semua hadits adalah shahih, baik itu dari sudut sanad (periwayatan dari satu periwayat kepada periwayat yang lainnya) ataupun dari sudut matan (wujud teks hadits yang bersangkutan). Bahkan ada hadits yang digolongkan palsu (maudlu’). Karena itu al-Qur’an menjadi sumber pertama sedangkan al-Hadits menjadi sumber kedua, apabila dalam al-Qur’an belum dijelaskan secara terang maka rujukan keduanya adalah al-Hadits.

b. Sumber Al-Hadits
Sumber hukum ini berarti merujuk terhadap Sunnah Nabi yang disebut dengan al-Hadits. Menurut etimologi bahasa, as-Sunnah berarti jalan yang harus dijalani. Menurut ahli Syara’, Sunnah ialah jalan yang dijalani dalam bahasa, karena telah biasa dijalani oleh Rasulullah SAW, dan para ulama salaf yang salih sesudah wafat Rasul SAW.
Sunnah itu ada kalanya qauliyah yaitu, segala yang diucapkan oleh Nabi SAW, adakalanya Sunnah bersifat fi’liyah, yaitu segala yang diperbuat Nabi Saw untuk syariat, adakalanya taqririyah, yaitu segala perbuatan sahabat di hadapan Nabi atau Nabi melihat orang mengerjakan sesuatu tanpa teguran dari beliau. Dan adakalanya Sunnah itu tarkiyah yaitu suatu perbuatan yang mungkin dilaksanakan oleh Nabi, tetapi beliau tidak mau mengerjakannya.
Istilah Sunnah ini kemudian lebih biasa dipakai dengan istilah Hadits. Hadits (Sunnah) adakalanya shahih dan adakalanya dha’if. Hadits shahih ialah yang mempunyai sanad yang tersambung sampai kepada Nabi Saw, semua sanadnya tidak cacat dan matan haditsnyapun tidak bertentangan dengan al-Qur'an. Adapun Hadits yang dla'if adalah kebalikan dari yang shahih.
Dalam kedudukannya sebagai sumber, Hadits atau As-Sunnah mendapat tempat sesudah al-Qur’an, hal ini sesuai dengan bunyi hadits:

Artinya: Aku tinggalkan padamu dua pedoman, sekali-kali kamu tidak akan sesat sesudahnya selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik).
Pada penjelasan Hadits ini akan diuraikan sumber-sumber dari al-Hadits yang berkaitan dengan akhlak tasawuf.
1) Akhlak
Istilah akhlak yang dikaitkan dengan al-Hadits memang ada dasarnya. Di sini akan dikutipkan beberapa hadits yang secara eksplisit menyinggung istilah akhlak tersebut sebagai berikut:
Nabi berkata:

Artinya:
Bahwasannya aku dibangkitkan (diutus) adalah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak. (HR. Baihaqy).
Hadits lain menyebutkan:

Artinya :
Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang mukmin yang paling baik akhlaknya (H.R.Tirmidzi).
Pesan yang dimuat oleh kedua hadits di atas adalah searah, yaitu bahwa masalah akhlak sangat dipentingkan berkaitan dengan masalah kerisalahan (keutusan) Nabi Muhammad Saw dan juga berkaitan dengan masalah keimanan (keyakinan teguh bagi seluruh manusia Islam.

2) Tasawuf
Berkaitan dengan sumber dari al-Hadits mengenai tasawuf, semua ulama tasawuf hampir sepakat mengatakan bahwa istilah tasawuf belum pernah dikenal dalam hadits-hadits Rasulullah Muhammad SAW. Justru yang diperkenalkan oleh Rasulullah Saw adalah istilah ihsan. Salah satu potongan hadits yang berbicara tentang ihsan menyatakan sebagi berikut:

Artinya:
(Tamu Rasulullah) bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang disebut ihsan? Nabi menjawab: Hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak dapat melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu (HR. Muslim)
Jika direnungkan secara mendalam, sebenarnya ajaran ihsan ini sudah sangat mendalam. Di sini sudah ditekankan adanya unsur kesadaran dan penghayatan ketuhanan. Allah Swt seolah-olah sebagai pengontrol pada prilaku manusia dan sekaligus sangat dekat dengan manusia dalam kehidupannya. Sayangnya istilah dan konsep ini tidak dikembangkan lebih lanjut oleh para ulama Islam sampai tingkat pelaksanaan teknis. Malahan mengintroduksi istilah baru yang diberi nama “tasawuf”. Tetapi begitulah kenyataan kesejarahan umat Islam yang harus diakui, walaupun sebenarnya getir menerimanya.
Al-Qur’an memang layak menjadi sumber muatan ajaran Akhlak Tasawuf, Sebab, muatan al-Qur’an pada hakekatnya adalah dunia akhlak. Bahkan ada sebutan yang dinyatakan oleh Siti Aisyah bahwa akhlak Nabi Muhammad Saw adalah “akhlak al-Qur’an”. Sementara Nabi menyampaikan bahwa kebangkitannya menjadi seorang Rasul adalah juga dalam kerangka besar penyempurnaan akhlak. Pernyataan Rasul tersebut dikuatkan oleh al-Qur'an:

Artinya :
Sungguh adalah dalam diri Rasulullah itu bagimu sebagai suri tauladan yang baik (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Akhir dan dia banyak menyebut Allah.
Pada hakekatnya akhlak yang dibangun oleh al-Qur’an adalah akhlak yang mendapat pencerahan berdasar prinsip ihsan, yang bagi penyuka istilah tasawuf disebut akhlak tasawuf. Jika disiplin menurut peristilahan al-Qur’an dan al-Hadits, maka istilah yang lebih tepat adalah akhlak ihsan.
Sosok Nabi Muhammad yang dijadikan sumber keteladanan akhlak tasawuf (akhlak ihsan) adalah segala tindakan nabi yang menyangkut kerisalahan (kerasulan), bukan yang bersifat basyariyah (biologis). Tindakan Nabi yang bersifat basyariyah ini misalnya gaya berjalan, gaya berlari, cara berkedip, macam suara (intonasi suara), cara tersenyum dan sebagainya. Ini semua adalah pembawaan lahir. Sementara itu, yang berkaitan dengan kerisalahan (kerasulan) menyangkut norma atau aturan yang dituntunkan oleh Allah Swt lewat kalam-Nya (wahyu). Disitulah baru terjadi proses uswatun khasanah (keteladanan yang baik). Pribadi dalam konteks kerisalahan (kerasulan) yang senantiasa disinari oleh wahyu inilah yang memungkiikan Nabi Muhammad SAW memiliki sifat ma’shum (terjaga dari prilaku ma’siyat) atau prilaku yang keluar dari garis kerisalahannya). Dapat dibayangkan betapa berat diri Nabi dalam membina dan mempertahankan dirinya sebagai sosok yang uswatun khasanah yang senantiasa harus terjaga dari prilaku ma’siyat (sifat ma’shum) itu. Hanya orang-orang yang benar-benar terpilih dan manusia pilihan saja yang sanggup memikul tugas seperti ini.
PERTEMUAN 6
LATAR BELAKANG TIMBULNYA STUDI TENTANG
AKHLAK TASAWUF

1. Latar Belakang Timbulnya Studi Tentang Akhlak Tasawuf
a. Latar Belakang Studi Akhlak
Ketika Nabi Muhammad diutus (dibangkitkan menjadi rasul), keadaan moralitas suku-suku di Arabia menurut para ahli sejarah Islam bisa disebut sebagai zaman jahiliyah. Dalam zaman itu dapat dicatatkan hal-hal sebagai berikut:
1) Jual beli hamba sahaya. Hamba sahaya ini biasanya berasal dari tawanan perang antar suku. Suku yang kalah dalam perang langsung dijadikan budak (hamba Sahaya) bagi suku yang menang. Sebagaimana diketahui, dalam masyarakat dikenal istilah ayyam al-‘arab yang artinya hari-hari orang Arab yang diselimuti dengan suasana siap perang. Bagi suku-suku yang memiliki oase atau sumber-sumber air untuk keperluan ternak, maka mereka harus senantiasa siap untuk berperang untuk mempertahankan hak milik mereka dari incaran musuh yang terus menerus mengintai. Untuk itu, sudah menjadi tradisi bahwa bagi kaum pria sejak kecil dilatih untuk memanah, berenang dan segala jenis alat perang lain. Mereka sangat bangga jika dalam suku mereka lahir anak laki-laki, lalu biasanya melakukan pesta di kalangan mereka. Jelasnya, pada waktu itu terjadi adagium: siapa kuat dialah yang menang dan memiliki. Karena itu, bagi suku yang kuat maka merekalah biasanya yang memiliki banyak budak (hamba sahaya). Lalu terjadilah transaksi jual beli budak itu.
2) Mengubur bayi perempuan. Kaum perempuan waktu itu dianggap sebagai sarana reproduksi anak atau pemuas keinginan biologis kaum pria. Pria yang memiliki banyak isteri adalah kebanggaan. Karena dalam peperangan yang biasanya keras dan brutal itu perlu kecepatan dan kelincahan gerak, maka kaum perempuan dianggap menyulitkan. Karena itu jumlahnya dibatasi. Untuk itu, jika jumlah perempuannya sudah dianggap cukup maka bayi perempuan dikubur hidup-hidup.
3) Mengurangi timbangan dan ukuran. Mata pencaharian terpokok waktu itu adalah berdagang. Agar cepat dapat untung perdagangannya, maka mereka cenderung licik dalam menimbang dan mengukur barang dagangannya.
4) Menyembah berhala. Untuk meraih keuntungan yang berlebih, mereka juga merasa perlu meminta roh-roh nenek moyang dengan cara menyembah patung-patung (berhala) dari batu yang dibuat sendiri.
5) Melakukan nujum nasib dan minum minuman keras, Mereka suka sekali dalam hal ramal-meramal nasib, termasuk suka pesta lewat minum-minuman keras.
6) Melakukan tindakan riba. Yaitu melakukan utang piutang dengan cara bunga-berbunga. Akibatnya sangat mencekik leher para peminjam utang. Dan masih banyak lagi hal-hal yang bersifat negatif.
Dalam kondisi seperti itulah Rasulullah SAW lahir dan hidup. Rasulullah SAW sangat prihatin melihat kenyataan kehidupan sosial seperti itu. Oleh karena itu sangat logis jika Rasulullah SAW memproklamasikan bahwa kerisalahannya (kebangkitannya menjadi seorang rasul) adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan akhlak masyarakat pada waktu itu. Jadi, kesadaran tentang akhlak sudah ada sejak Rasulullah Saw masih hidup. Keteladanan Nabi Muhammad SAW juga dalam kerangka pembangunan akhlak.
Dalam perjalanan sejarah berikutnya, para ulama mulai mencoba mensistematisasikan praktek akhlak al-Qur’an dan keteladanan Rasulullah Saw ini. Tokoh yang mencoba mensistematisasikan akhlak ini antara lain adalah Ibnu Miskawih (932-1030 M) yang menulis kitab Tahdzib al-Akhlaq. Setelah itu disusul oleh Abu Ahmad al-Ghazali (1056-1111 M) dan lain sebagainya. Sejak itu perhatian terhadap masalah akhlak terus berkembang, apalagi setelah dunia Islam mulai berkenalan dengan filsafat Barat tentang etika.

b. Latar Belakang Studi Tasawuf
Seperti diketahui pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, tidak dikenal sebutan tasawuf. Yang ada justru dari Rasulullah Saw ketika beliau mengintrospeksi istilah “ihsan”, yang digandengkan dengan istilah “iman” dan “Islam”. Setelah Rasulullah wafat masuklah ke zaman Khulafa’al-Rasyidin yang dalam sejarah Islam dicatatkan 4 (empat) orang sahabat dekat Rasulullah yang meneruskan pemerintahan (khalifah) Islam yang berpusat di Madinah. Sahabat Nabi tersebut adalah, Abubakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan All bin Abi Thalib. Setelah pemerintahan Ali bin Abi Thalib berakhir, bergeserlah sistem pemerintahan Islam itu mirip dengan kekaisaran Romawi atau Persia. Seiring dengan mulai terjadinya pergeseran itu, nampaknya masalah kemewahan hidup yang terpusat di pusat-pusat pemerintahan membuat gerah bagi sebagian umat Islam waktu itu. Kelompok ini beranggapan bahwa cara dan gaya hidup para penguasa dan para lingkaran elit waktu itu telah keluar dari contoh hidup dari Rasulullah SAW. Kelompok inilah yang kemudian menyisihkan diri untuk mencermati ulang dan mencontoh kehidupan Rasulullah Saw. Sikap menentang arus ini dimulai dari kota Basrah dengan tokohnya antara lain Hasan al-Basri dan kota Kufah yang relative disebut lebih pedalaman (dengan tokohnya Abu Hasyim al-Kufi).
Mula-mula para penentang gaya hidup mewah tersebut melakukan amaliah nyata dalam kehidupan sehari-hari sejauh kepahaman mereka tentang bagaimana cara hidup Rasulullah Saw. Lama-kelamaan apa yang mereka lakukan itu dikemas dengan istilah-istilah teknis, misalnya istilah maqam, hal, suluk dan sebagainya. Dari sinilah mulai disiplin ilmu tasawuf.
Dalam perjalanan selanjutnya, kehidupan sufistik itu kemudian melebar menjadi lembaga tarekat setelah al-Ghazali mempopulerkan tentang tasawuf ini melalui kewibawaan kitab-kitabnya. Lalu timbulah peristilahan yang lebih kompleks lagi, seperti zawiyah, mursyid, muraqabah, tawajjuh, wall dan sebagainya.
Kehidupan tasawuf dan berbagai perkembangannya itu arahnya adalah untuk menambah ketajaman umat Islam terhadap akhlak. Sehingga studi akhlak dan tasawuf di kalangan Sunni lebih dikenal disiplin Ilmu Akhlak Tasawuf.

2. Fungsi Akhlak Tasawuf
a. Fungsi Umum
Secara umum fungsi akhlak tasawuf ini dapat dilihat dari dua aspek yaitu, pertama menyangkut kesejarahan akhlak tasawuf sejak lahir dan paradigmanya masih tersisa sampai sekarang dan kedua, memotret realitas fungsi akhlak tasawuf yang ditangkap oleh manusia modern dewasa ini. Satu persatu akan digambarkan sebagai berikut:
Untuk aspek pertama, yaitu menyangkut kesejarahan akhlak tasawuf sejak lahir dan paradigmanya masih tersisa sampai sekarang. Maka akhlak tasawuf akan dapat berfungsi sebagai:
1) Mengembalikan akhlak Rasulullah Saw menjadi acuan kehidupan sehari-hari umat Islam. Di sini, format akhlak Rasulullah Saw harus menjadi koridor umat Islam terutama dalam mengarungi lautan kenikmatan dan kemewahan kehidupan duniawi, agar tidak kebablasan. Ini bukan harus kembali ke dalam padang pasir seperti zaman Rasulullah Saw, melainkan agar umat Islam tidak jatuh ke dalam Lumpur Kenikmatan dan kemewahan duniawi dan meninggalkan sifat religiusitas dan kesederhanaan mereka. Fungsi pertama ini mencuat karena setiap kali para elite pemerintahan dan perekonomian itu diingatkan lewat himbauan keakhlakan Rasulullah Saw kebanyakan didengar sambil lalu. Akibatnya dari pihak pengritiknya menjadi mengeras, tidak cair. Para petinggi pemerintahan dan perekonomian ini lebih komitrnen terhadap “kekuasaan” daripada dakwah islamiyah (dalam arti teknis).
2) Menyeimbangkan kehidupan duniawi yang serba hingar bingar dengan kehidupan spiritual yang serba teduh dan hening. Atau dengan kata lain, memasukan nilai spiritualitas terhadap setiap sektor kehidupan. Dengan adanya fungsi ini, sebagai misal, mulai popular sebutan “fiqh sufistik”. Ini terjadi pada masa Al-Ghazali yang mengintroduksi nuansa sufistik ke dalam fiqh agar pelaksanaan fiqh tidak sekedar formalisme (yang kehilangan ruh). Spiritualitas, dalam fungsi ini, diharapkan memberi warna untuk meningkatkan kadar religiusitasnya. Dunia pemerintahanpun juga mulai diintervensi oleh al-Ghazali dengan akhlak tasawuf ini dengan cara melayangkan surat-surat kepada para elitik di pemerintahan. Pada wilayah grass-root (akar rumput) menyeruak kehidupan tarekat (dengan segala plus minusnya) agar kehidupan berdasar akhlak tasawuf bisa menjadi imbangan bagi kehidupan para elitik pemerintahan dan perekonomian. Di sini sudah terjadi pengkutuban antara “elitik pemerintahan” dengan “populis kerakyatan” yang aberbasis pada akhlak tasawuf. Untuk aspek pertama ini terdapat dampak yang kurang menguntungkan pula, yaitu ketika lembaga tarekat masuk ke wilayah grass-root (akar rumput) secara luas di tengah-tengah masyarakat. Dampak ini ialah timbulnya proses-proses elitisasi dalam lembaga tarekat. Di dalamnya mulai menancap kuat atratifikasi social antara lapisan yang disebut “mursyid” dengan lapisan yang disebut “murid”. Hubungan dari kedua lapisan ini sangat vertikal (paternalistik, kebapakan). Dengan demikian ada dua lapisan social yang nampak, yaitu “pemerintah-rakyat” dan “mursyid-murid”. Kalangan awam terjepit oleh pengaruh wibawa dua lapisan di atasnya, yaitu pemerintah (dalam konteks pemerintahan), dengan mursyid (dalam konteks sosial keagamaannya). Kondisi ini sebenarnya tidak boleh terjadi, terutama untuk lembaga tarekat. Namun kenyataannya masih berlangsung sampai detik sekarang ini. Adagium seperti “kewalian”, “keberkahan”, “kualat”, “karamah”, “weruh sadurunge winarah” dan sebagainya masih terdengar nyaring sampai detik sekarang ini. Jika hal ini terus menerus masih terjadi, maka akan menjadi batu hambatan terkonstruksinya akhlak tasawuf yang lebih elegan (anggun) dalam menghadapi perbaikan social di zaman global seperti sekarang ini.
Untuk aspek kedua, akhlak tasawuf berfungsi sebagai:
3) Peneduh jiwa karena hilangnya kebermaknaan hidup dalam zaman kemajuan ilmu dan tekhnologi. Dalam masyarakat yang sudah maju, nampaknya mulai timbul kemuakan dan kebosanan serta rasa kekosongan makna hidup yang luar biasa. Piranti dan servis kesejahteraan hidup hampir terpenuhi semuanya. Pasar, toko, super market (bahkan sekarang mulai ada hyper market), mall, ruang pameran dan sebagainya telah dipenuhi segala macam kebutuhan dan piranti hidup. Orang-orang modern dewasa ini seolah-olah telah dimanjakan oleh keadaan. Mereka menjadi merasa kurang tertantang. Akibatnya kebosanan menjadi-jadi, alam kondisi jiwa dan psikologis seperti itu nampaknya fungsi Pertama dari aspek ke dua ini menjadi niscaya. Orang mengatakan hilangnya kebermaknaan hidup ini pasti mengiringi bagi sebuah proses kemajuan yang secara terus menerus akan diusahakan dan diraih oleh umat manusia, baik pada masa kini maupun masa mendatang.
4) Pengeram psikologis dari kehidupan yang diwarnai penuh persaingan (kompetisi). Dalam suasana seperti itu bagi kelompok manusia yang merasa kurang kuat dalam bersaing, sementara tuntutan untuk ingin bersaing juga tidak surut, maka timbullah stress (tekanan psikologis yang berat). Dalam kondisi orang seperti ini maka akhlak tasawuf merupakan medium untuk mengendor ketegangan psikisnya. Disinilah fungsi kedua akhlak tasawuf untuk aspek kedua ini menjadi niscaya.
5) Penguat kesadaran kebersamaan hidup. Pada zaman yang maju dalam hal ekonomi, ilmu, teknologi rasa keakuan (egoisme) cenderung menguat tajam. Bisa dikatakan citra individualisme menguasai di seluruh sector kehidupan. Karena egoisme meninggi, maka rasa keterancaman menjadi menguat. Orang lain yang sebenarnya menjadi kawan justru dianggap sebagai lawan atau musuh yang dianggap terus mengintai yang akan menyerangnya. Dalam kondisi seperti itu ketegangan psikologis (psychologicaltension) menjadi meninggi, maka timbullah kecemasan (anxety), bahkan ketakutan (phobia). Karena itu orang menjadi haus terhadap pemecahan apa yang harus dilakukannya. Akhlak tasawuf mengajarkan perlunya kesadaran kebersamaan dalam kehidupan. Bahwa di alam dunia yang fana ini tidak ada orang, kelompok, bangsa, bahkan Negara yang dapat hidup senang sendiri dan dapat hidup sendiri. Yang ada adalah adanya saling ketergantungan (dependency) satu sama lainnya. Jika kesadaran kebersamaan hidup ini berhasil dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan, maka kecemasan dan ketakutan akan menurun tajam. Ketika menghadapi orang lain, maka tidak dianggap sebagai lawan atau musuh yang akan menyeranginya, melainkan sebagai calon kawan dan teman untuk berbagi pendapat dan perasaan. Falsafah Barat yang mengintroduksi pandangan individualisme, hak-hak asasi dan “pasar bebas”, maka orang ingin menguasai sebanyak banyaknya dan kalau perlu seluruhnya (kemilikan tunggal). Oleh karena itu akhlak tasawuf cenderung mampu menjadi paying perlindungan akan mampu berkiprah dalam kondisi seperti ini. Dalam akhlak tasawuf ditekankan prinsip “keadilan dan kesetaraan”. Dua prinsip ini dalam dunia modern sekarang ini sering terjadi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan atau prakteknya.
Ada sebuah tantangan untuk fungsi aspek ke dua akhlak tasawuf, yaitu adanya opini baru dengan munculnya apa yang disebut “etika global”. Konsep ini dirilis pertama kali dirilis oleh Hans Kung guru besar kajian agama di Universitas Tubingen Jerman. Gagasan ini lalu di deklarasikan dalam forum pertemuan Parlement of the World’s Religions (Parlemen Agama-agama Dunia). Teks final deklarasi “etika global” ini ditanda tangani hampir 200 orang delegasi agama-agama dunia. Dalam menghadapi perkembangan etika global seperti ini, maka sudah semestinya studi akhlak tasawuf harus bekerja keras agar tidak kalah lajunya dalam menghadapi perkembangan kemajuan dunia dengan segala perubahan social yang ada di dalamnya. Adalah tidak dapat diterima kalau dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Islam (dengan symbol kerasulan Muhammad SAW) adalah rahmatan lil ‘alamin, lalu daya paying akhlak tasawuf hanya terbatas lingkupnya untuk umat Islam saja. Parlemen Agama-agama Dunia ketika merumuskan deklarasi etika global berdasar kerjasama internasional secara organisatoris yang rapih dan terencana. Bukan suatu kemustahilan jika umat Islam akan merumuskan Akhlak Tasawuf untuk memenuhi tuntutan rahmatan lil 'alamin. Barangkali kuncinya terletak pada niat bulat, kemauan bekerja keras dan manajemen kerja secara organisatoris yang rapih dan terencana dengan baik. Inilah tantangan masa depan akhlak tasaawuf untuk masyarakat dunia modern seperri sekarang ini ataupun untuk masa depan.

b. Fungsi Khusus
Fungsi akhlak tasawuf secara khusus adalah berkaitan dengan kesehatan mental atau jiwa manusia. Fungsi tersebut diantaranya adalah :
1) Membersihkan hati dalam berhubungan dengan Allah
Hubungan manusia dengan Allah dalam bentuk ibadah tidak akan mencapai sasarannya jika tidak dengan kebersihan hati dan selalu ingat dengan Sang Penciptanya. Misalnya, dalam shalat. Shalat diperintahkan Tuhan, karena efeknya adalah mencegah manusia dari berbuat tidak baik. Efek ini tidak dapat dicapai oleh manusia jika shalat itu tidak dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan kekhusy’an. Sebagaimana sabda Nabi:

Artinya: Berapa banyak orang yang berdiri shalat, yang bagiannya dari shalatnya hanya penat dan letih semata (HR. Baihaqy).
Maksud hadits di atas adalah sesuatu yang menyebabkan shalatnya sia-sia yaitu karena kekurangan “syarat bathin” dalam shalat. Syarat bathin itu adalah kebersihan jiwa yang menjadi sumber ikhlas, khusyu’, dan khudhu’. Dan untuk menumbuhkan yang demikian itu maka diperlukan mempelajari ilmu akhlak tasawuf.
2) Membersihkan jiwa dari pengaruh materi
Kebutuhan manusia itu bukan hanya pemenuhan tubuh materi saja, tetapi dia mempunyai bathin yang disebut jiwa yang memerlukan kebutuhan pula. Tubuh lahir manusia akan merasa puas bila diberi makanan dengan protein nabati dan hewani, dengan demikian ia akan sehat. Kebutuhan lahiriyah manusia erat hubungannya dengan jiwanya. Kebutuhan lahiriyah ini timbul karena adanya dorongan jiwa untuk mempertahankan dan melindungi tubuh dari berbagai ragam bahaya yang bisa merusakannya, seperti panas, dingin dan sebagainya yang berasal dari makhluk hidup lainnya. Untuk melindungi bahaya inilah pada mulanya manusia berpakaian, memakai senjata dan lain-lain. Tetapi dewasa ini pakaian bukan lagi digunakan untuk maksud pertama tadi. Kini pakaian dipakai untuk menjaga gengsi. Karena itu dipilihlah mode-mode yang terbaru dan termodern. Mode-mode ini setiap bulan selalu berubah. Begitu pula dengan kebutuhan-kebutuhan lain seperti rumah, tempat tinggal, mobil, kursi dan alat-alat perabot lainnya. Orang pun sibuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan lahiriyahnya saja. Akhirnya orang lupa diri. Mereka tidak tahu akan kebutuhan jiwanya lagi, karena memuaskan kebutuhan lahiriyahnya saja yang dipengaruhi nafsu. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan manusia dari godaan materi adalah dengan membersihkan jiwanya. Jalan untuk itu ialah dengan pelajaran agama, yaitu pada bidang akhlak tasawuf.
3) Menerangi jiwa dari kegelapan
Jiwa manusia selalu gelisah, sebagaimana firman Allah. Swt:

Artinya: Kami jadikan manusia itu bersifat keluh kesah.
Masalah materi sering menjadi sangat besar pengaruhnya atas jiwa manusia. Benturan di dalam mencari dan mengejar materi atau mengejar apa saja yang diinginkan manusia sering menjadi masalah bagi manusia itu sendiri bahkan kemudian timbul menjadi penyakit. Penyakit-penyakit seperti resah, cemas, patah hati sebagai akibat dari masalah-masalah di atas (termasuk di dalamnya sifat-sifat buruk manusia seperti hasad, takabur dan sebagainya) hanya dapat disembuhkan dengan obat yang datang dari ajaran-ajaran agama, khususnya ajaran yang berobyekan bathin manusia yaitu akhlak tasawuf.
4) Memperteguh dan menyuburkan keyakinan beragama
Hati akan teguh di dalam keyakinannya bila selalu disirami dengan pelajaran-pelajaran yang bersifat ruhaniyah. Kekuatan umat Islam di masa rasul bukan karena kekuatan fisik dan senjata, tetapi ialah pada kekuatan mental dan spiritualnya. Sebaliknya kemunduran umat Islam di masa keemasannya bukan karena akibat musuh semata, tetapi karena hidup materialis yang tidak lagi memperhatikan kebutuhan jiwa. Bila ajaran akhlak tasawuf diberikan pada hamba Allah akan bertambah subur pula keimanannya. Segala amal perbuatan akan membuahkan kebaikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain
5) Mempertinggi akhlak manusia
Dengan memiliki hati yang suci dan bersih dan selalu di sirami dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya maka akan semakin tinggi akhlak manusia. Ajaran akhlakul karimah atau munjiyat di bahas secara panjang lebar dalam akhlak tasawuf. Tujuannya adalah untuk membersihkan manusia dari akhlaqul madzmumah atau al-Muhlikat. Pembersihan ini dinamai takhalli.
Bila manusia ini telah kosong dari perangai-perangai tercela, maka memulainya dengan diisi dengan akhlaqul al-karimah (akhlak yang terpuji) yang disebut takhalli. Takhalli adalah menghiasi pribadi insan dengan keutamaan-keutamaan (akhlak yang mulia). Bila seseorang telah dipenuhi perangai-perangai utama, niscaya terbukalah tirai yang menghalanginya dari kebenaran Illahi. Bila tirai telah terbuka antara manusia dengan Illahi dapatlah manusia itu mencapai kelezatan beribadah kepada Tuhannya. Tersingkapnya tirai yang membatasi manusia dengan Tuhannya dinamakan tajalli.
Aspek moral adalah aspek yang terpenting di dalam kehidupan manusia. Bila manusia tidak bermoral, maka turunlah martabat dari kemanusiaannya. Inilah fungsinya mempelajari akhlak tasawuf.
Hal ini supaya manusia tetap menempati martabatnya sebagai manusia yang ditugaskan Allah Swt menjadi khalifah di muka bumi ini.
Adapun fungsi mempelajari akhlak tasawuf yang sifatnya lebih tekhnis adalah sebagai berikut:
a) Untuk meningkatkan kemajuan rohani. Dalam hal ini untuk menjaga kesetabilan mental spiritual dalam menghadapi segala lika-liku kehidupan, termasuk di dalamnya godaan dan cobaan hidup. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang mampu menghindarkan diri dari godaan atau cobaan hidup itu. Untuk menghadapinya perlu kestabilan mental-spiritual yang baik.
b) Untuk menuntun ke arah kebaikan. Dalam kehidupan ini hampir tidak terhitung apa yang akan dan sudah dikerjakan. Karena itu diperlukan rambu-rambu agar tidak terjerumus ke dalam tindakan yang keliru. Sepanjang hidup manusia tidak pernah terhindar dari jurang kekeliruan, mengingat sehebat-hebatnya manusia tetap saja, berdasar penjelasan al-Qur’an, diciptakan dalam keadaan atau kondisi dlaif (lemah).
c) Untuk menopang kesempurnaan iman. Lisan bisa mengatakan “aku telah beriman”, tetapi dalam prakteknya iman senantiasa naik dan turun yang disebabkan faktor eksternal yang dialami manusia dalam kehidupannya. Agar iman seseorang relative stabil, perlu ditopang oleh pelaksanaan akhlak yang konsisten.
d) Untuk mempertajam tanggung jawab eskatologis. Yang dimaksud istilah “eskatologi” di sini adalah hal-hal yang menyangkut setelah mati, seperti hari akhirat dengan segala perangkatnya (dosa, pahala, surga, neraka dan sebagainya). Tanggung jawab eskatologis ini “lebih mengancam” daripada sekedar ancaman pengucilan masyarakat, ancaman hokum dan sebagainya.
e) Untuk mempertajam tanggung jawab sesama dalam kehidupan. Tanggung jawab ini misalnya tanggung jawab terhadap keluarga, tetangga, rekan kerja, bangsa dan manusia pada umumnya. Dalam pelaksanaan tanggung jawab itulah terdapat harga pribadi seseorang, yaitu apakah diri seseorang itu berguna atau tidak.
f) Untuk menjaga martabat kemanusiaan seseorang. Bahwa dalam diri setiap orang ada unsur sifat kebinatangan dan kemanusiaan, sifat kemanusiaan yang menonjol adalah kesadaran untuk menyusun dan mau tunduk pada peraturan. Dengan peraturan itu lalu lintas pergaulan menjadi lebih lancar dan tidak gampang menimbulkan salah paham yang ujung-ujungnya berupa perselisihan bahkan perang. Sedang sifat kebinatangan hanya berlaku hukum rimba yaitu, siapa kuat dialah yang menang.
PERTEMUAN 7 –8
KOMPONEN AKHLAK TASAWUF

1. Sifat Tercela Dan Sifat Terpuji
Seorang hamba yang ingin mendekatkan diri kepada Allah harus terlebih dahulu mengosongkan dirinya dari akhlak yang tercela kemudian mengisinya dengan akhlak yang terpuji karena Allah adalah Dzat Yang Maha Suci hanya dapat didekati oleh hamba-Nya yang suci jiwanya.
Berikut ini akan diuraikan sifat-sifat tercela yang harus dikosongkan dalam diri manusia dan mengisinya dengan si terpuji.
a. Macam-macam Sifat Tercela
Diantara akhlak tercela yang harus dibuang dari jiwanya adalah:
1) Hub al-Dunya
Hub al-Dunya menurut bahasa adalah mencintai dunia, adapun menurut istilah adalah mencintai dunia yang disangka mulia dan di akhkat menjadi sia-sia.
Definisi di atas dapat dipahami bahwa hubb al-dunya berarti mencintai kehidupan dunia dengan melalaikan kehidupan akhirat. Di sini timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan dunia? Segala sesuatu yang tidak membawa manfaat di akhirat, menurut K.H Ahmad Rifa’i, itulah yang dinamakan dunia, dan disebut juga dengan dunia haram. Dengan perkataan lain bahwa dunia haram adalah hal-hal yang bersifat duniawi yang tidak digunakan untuk mendukung taat beribadah kepada Allah, sehingga keduniawian tersebut tidak bermanfaat untuk kehidupan di akhirat. Begitu juga harta banyak yang halal tetapi tidak dibelanjakan di jalan Allah, seperti tidak dikeluarkan zakatnya, tidak digunakan untuk infaq fi sabilillah, dan tidak digunakan untuk shodaqoh, maka harta tersebut menjadi fitnah dan termasuk dunia haram.
Sejalan dengan pendapat KH. Ahmad Rifa’i, al-Ghazali mengatakan bahwa segala sesuatu yang memberikan keuntungan, bagian, tujuan, nafsu syahwat, dan kelezatan kepada manusia yang diperoleh langsung sebelum mati disebut dunia.
Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan lebih rinci tentang pengertian dunia sebagai berikut:
(a) Sesuatu yang menemani manusia di akhirat dan pahalanya kekal bersamanya sesudah mati, yakni ilmu dan amal, ini tidak tergolong dunia melainkan akhirat. Adapun ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu tentang Allah, sifat-sifatNya af’alNya, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, alam malakut bumi dan langitNya, serta ilmu yang disyari’atkan oleh nabiNya. Sedangkan amal yang dimaksud di sini adalah amal ibadah yang ikhlas karena Allah semata.
(b) Segala sesuatu yang memberikan keuntungan dan kelezatan kepada manusia yang langsung diperoleh di dunia akan tetapi tidak memberikan pahala baginya di akhirat, seperti kelezatan yang diperolehnya dengan melakukan segala macam perbuatan maksiat dan bersenang-senang dengan hal-hal yang mubah akan tetapi melewati kadar kebutuhan, maka hal ini tergolong dunia yang tercela.
(c) Segala sesuatu yang memberikan keuntungan kepada manusia dan langsung diperoleh di dunia untuk menolong kepada amal perbuatan akhirat, seperti sekedar makanan, pakaian sederhana, dan lain sebagainya yang merupakan sarana pokok demi kelangsungan hidup manusia dan kesehatannya agar dapat menghantarkan kepada ilmu dan amal, maka hal ini tergolong akhirat karena makanan, pakaian, dan kebutuhan pokok tersebut digunakan sebagai sarana untuk menolong amal perbuatan akhirat. Namun demikian, jika faktor yang mendorongnya hanya sekedar memperoleh keuntungan langsung di dunia, tidak dijadikan sebagai sarana untuk taqwa kepada Allah, maka hal ini bukan tergolong akhirat melainkan tergolong dunia. Memperhatikan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan dunia ialah segala sesuatu yang tidak dijadikan sarana untuk takwa kepada Allah dan tidak membawa manfaat di akhirat.
Seseorang yang mencintai dunia akan mengakibatkan dirinya banyak melakukan kesalahan dan berbuat dosa seperti berbuat maksiat, keji, dan munkar, karena ia melupakan Allah Swt. Sebagaimana Rasulullah Saw menjelaskan: “Cinta terhadap dunia merupakan pangkal setiap kesalahan”. Dijelaskan juga dalam al-Qur’an: “Dan celakalah bagi orang-orang kafir karena mendapat siksaan yang sangat pedih, yaitu orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akbirat”.
Dengan demikian setiap orang mukmin harus senantiasa beramal demi memperoleh kebahagiaan hidup di akhirat jangan tergiur dan terpukau oleh kemewahan dunia, seperti kekayaan, pangkat, kesenangan, dan kenikmatan, kecuali sekedar hajat yang diperlukan untuk menolong beribadah kepada Allah. Disamping itu, hati seorang mukmin tidak boleh bergantung kepada kemewahan dunia karena hal tersebut dapat melupakan Allah dan melalaikan kebahagiaan hidup di akhirat. Berkaitan hal ini K.H Ahmad Rifa’i mengatakan: Wajib berpaling dari dunia maksiat sunat berpaling dari dunia halal juga sunat meninggalkan (dunia) makruh sunat mengambil dunia halal yang dijadikan pertolongan untuk melakukan kebijakan yang bermanfaat di akhirat wajib mengambil dunia yang diperlukan yang halal jika tentu menolong taat terhadap kewajiban kemudian hasilnya mengangkat derajad.
Bait nazam di atas menjelaskan tentang ketentuan hukum mengambil atau meninggalkan dunia sebagai berikut :
a) Berpaling dari dunia maksiat, hukumnya wajib.
b) Berpaling dari dunia halal, hukumnya sunat.
c) Meninggalkan dunia makruh, hukumnya juga sunat.
d) Mengambil dunia halal yang digunakan untuk menolong berbuat kebajikan yang bermanfaat di akhkat, hukumnya juga sunat.
e) Mengambil dunia halal sekedar hajat jika benar-benar digunakan untuk menolong berbuat taat melaksanakan kewajiban demi mengangkat derajad keimanan, hukumnya wajib.
Pendapat K.H. Ahmad Rifa’i di atas sesuai dengan pandangan sebagian ulama shufi bahwa dunia itu tak perlu dibenci secara berlebihan karena dunia merupakan anugrah Allah yang perlu diterima, dinikmati, dan disyukuri, bukan harus diingkari. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. Bersabda:

Artinya: Dunia adalah kebun bagi akhirat.

2) Al-Tham’
K.H. Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-tham’ sebagai berikut: Yang dimaksud tham’ menurut tarajumah adalah rakus hatinya. Sedang menurut istilah adalah sangat berlebihan cintanya terhadap dunia tanpa memperhitungkan haram yang besar dosanya.
Definisi di atas dapat dipahami bahwa tham' berarti sifat rakus yang sangat berlebihan terhadap keduniawian, sehingga tidak mempertimbangkan apakah cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh keduniaawian itu hukumnya halal dan haram, yang penting dapat memperoleh kemewahan hidup di dunia.
Sifat rakus seperti itu, sangat tercela dan membahayakan bagi manusia. Karena ia dapat mengakibatkan timbulnya rasa dengki, iri dan permusuhan antar sesama manusia, serta perbuatan-perbuatan keji dan munkar, sehingga manusia lupa kepada Allah dan lupa kepada kebahagiaan hidup yang abadi di akhirat. Oleh sebab itu, orang yang sangat rakus terhadap keduniawian menjadi orang yang paling hina di sisi Allah. Sebab ia tidak lagi menyadari bahwa dirinya itu hamba Allah yang seharusnya mengabdi kepada-Nya, melainkan menjadi budaknya dunia. Hal ini sejalan dengan ungkapan Ibrahim bin Ismail dalam kitabnya Syarb Ta’lim al-Muta’lim berikut ini:

Artinya:
Itulah dunia lebih sedikit dari segala yang sedikit, dan orang yang rakus kepadanya lebih hina dari orang-orang yang hina.
Sesuai pula dengan hadist Nabi yang diriwayatkan Ibnu Majah, al-Tirmidzi, dan al-Hakim dari Sahal bin Sa’ad bahwa Rasulullah SAW bersama sahabat-sahabatnya melewati seekor kambing yang sudah mati, lalu beliau bersabda:

Artinya: Tidaklah kalian melihat kambing ini hina bagi pemiliknya? Para sahabat berkata: karena kehinaannya, mereka melempar kambing itu Rasulullah bersabda: Demi Dzat yang menguasai jiwaku, sesungguhnya dunia itu lebih hina bagi Allah dari pada kambing ini bagi pemiliknya. Seandainya dunia ini seimbang di sisi Allah dengan sayap seekor nyamuk, niscaya Allah tidak memberikan minum kepada orang kafir seteguk air dari dunia. Menurut al-Ghazali hadits ini dinilai hasan oleh al-Tirmidzi.
Orang yang sangat rakus terhadap keduniaan demikian menurut K.H. Ahmad Rifa’i, tidak akan pernah merasa puas, sehingga ia terus mengejarnya sampai binasa, sebagaimana diungkapkan dalam bait nazham berikut ini: Perumpamaan orang yang rakus mengejar keduniawian adalah seperti orang yang meminum air laut setiap bertambah meminumnya, maka semakin bertambah dahaga yang tidak ada rasa puasnya bahkan sampai datang ajalnya kepada orang yang meminum air laut yang asin.
Bait nazham di atas mengibaratkan orang yang rakus terhadap keduniawian seperti orang yang minum air laut. Semakin banyak ia minum, maka semakin bertambah kuat rasa dahaganya, dan akhirnya ia mati karena perutnya penuh air. Seperti inilah orang yang rakus terhadap keduniawian. Semakin banyak mengenyam kemewahan dunia, maka ia semakin tergila-gila untuk mengejar kemewahan tersebut. Ia tenggelam dalam kesibukan duniawi yang diduganya dapat memberikan kebahagiaan hidup yang abadi. Pada akhirnya ia lalai kepada Allah dan lalai terhadap kebahagiaan hidup yang sejati dan abadi di akhkat.

3) Itba’ al-Hawa
Dalam kitab Ri’ayat al-Himmat diungkapkan definisi Itba’ al-Hawa sebagai berikut: Itba’ al-Hawa menurut bahasa berarti mengikuti hawa nafsu adapun menurut Istilah syara’ berarti orang lebih mengikuti jeleknya hati yang diharamkan oleh hukum syari’at itulah orang mengikuti hawa maksiat.
Definisi di atas dapat dipahami bahwa Itba’ al-Hawa berarti sikap menuruti hawa nafsu untuk melakukaan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum Syara’. Orang yang mengikuti hawa nafsu, demikian menurut K.H. Ahmad Rifa’i, berarti buta mata hatinya karena ia tidak mengetahui adanya Allah. Orang yang seperti ini akan tersesat dari jalan Allah, bahkan menjadi kawannya setan, dan ia melupakan kebagiaan hidup yang kekal dan hakiki di akhirat. Pendapat K.H. Ahmad Rifa’i ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Shad ayat 26:
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Artinya :
Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat siksa yang sangat pedih karena mereka melupakan hari penghitungan. Oleh karena itu, hawa nafsu harus dikekang dan diperangi agar manusia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat yang melanggar hukum syara’. Karena hawa nafsu merupakan pangkal dari perbuatan maksiat. Seperti dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim:



Artinya :
Setiap perbuatan jahat itu berasal dari kerelaanmu terhadap keinginan nafsumu untuk menjadi tempat penderitaan.

4) Al-‘Ujb
Definisi ‘Ujb dikemukakan oleh K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut: Ujb menurut bahasa ialah membanggakan diri dalam batin adapun menurut istilah ialah mewajibkan keselamatan badan dari siksa akhirat.
Defenisi di atas menunjukkan bahwa ‘ujb berarti membanggakan diri karena merasa dapat terhindar dari siksa akhirat, bahkan menganggap wajib dirinya selamat dari siksa akhirat.
Sifat ‘ujb ini tercermin pada rasa tinggi hatid (superiority complex) dalam berbagai bidang, baik dalam bidang amal ibadah, keilmuan, kesempurnaan moral, maupun yang lainnya. Menurut K.H. Ahmad Rifa’i ‘ujb hukumnya haram dan termasuk dosa besar karena merusak iman, sebagaimana diungkapkan dalam bait Nazham berikut ini: ‘Ujb hukumnya haram dan dosa besar dan sesungguhnya ulama Bal’am rusak imannya seperti apa diakhiri dengan kekufuran.”
Ungkapan di atas menegaskan bahwa ‘ujb merupakan dosa besar dan haram hukumnya. Oleh sebab itu, sifat ‘ujb wajib dihindari dan ditinggalkan karena dapat merusak iman. Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah contoh yaitu Bal’am seorang ulama yang beriman. Karena ia memiliki sifat ‘ujb maka rusaklah imannya dan pada akhirnya ia tergolong orang kafir.
Pendapat K.H. Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Ibn Hibban dan al-Baihaqi dari Anas:

Artinya:
Seandainya kamu tidak melakukan dosa, niscaya aku (Nabi) mengkhawatirkanmu melakukan dosa yang lebih besar dari 'ujb
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa ‘ujb merupakan perbuatan dosa yang sangat berbahaya karena seseorang sering tidak sadar melakukannya. Dengan perkataan lain, merupakan perbuatan dosa yang sangat halus karena ia tidak nampak oleh mata, yang tahu hanya Allah dan diri pelakunya. Jika diperbandingkan antara dosa ‘ujb dan dosa-dosa lainnya yang nampak oleh mata seperti menyembah berhala (syirik), durhaka kepada orang tua, melakukan saksi palsu, dan berbuat zina, maka dosa ‘ujb lebih berbahaya.
Pada hadits lain yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dari Anas, Rasulullah Saw juga bersabda:

Artinya:
Tiga perkara yang membinasakan, yaitu: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman seseorang pada dirinya.
Hadits di atas menunjukan bahwa sifat ‘ujb termasuk salah satu dari tiga hal yang dapat merusak iman. Oleh karena itu, sesungguhnya celaka orang yang beriman yang memiliki sifat ‘ujb karena sifat ‘ujb dapat merusak iman, sehingga ia menjadi yang merugi di hari kemudian. Dalam surat al-‘Araf ayat 99, Allah Berfirman:
أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
Artinya :
Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.
Hakekat ‘ujb, demikian al-Ghazali, adalah kesombongan yang terjadi di dalam batin seseorang karena menganggap adanya kesempurnaan ilmu, amal, harta dan lain sebagainya pada dirinya. Jika seseorang takut kesempurnaan tersebut akan lenyap dan dicabut oleh yang berhak (Allah), maka berarti ia tidak bersifat ‘ujb. Kemudian jika ia merasa gembira karena ia menganggap dan mengakui bahwa kesempurnaan tersebut sebagai nikmat Allah dan karunia-Nya, maka berarti ia tidak bersifat ‘ujb. Akan tetapi sebaliknya, jika ia menganggap bahwa kesempurnaan itu sebagai sifat dirinya sendiri tanpa memikirkan tentang kemungkinan kesempurnaan tersebut kan lenyap, dan tanpa memikirkan siapa pemberi kesempurnaan tersebut (Allah), maka inilah yang dimaksud dengan ‘ujb.
Uraian al-Ghazali ini dapat dipahami bahwa 'ujb berarti menganggap besar terhadap suatu kemampuan atau kesempurnaanjui seseorang tidak disandarkan kepada Dzat Pemberi kemampuan atau kesempurnaan tersebut, melainkan ia menganggap bahwa kemampuan atau kesempurnaan tersebut berasal dari dirinya sendiri.
Lebih lanjut al-Ghazali mengungkapkan bahwa sifat ‘ujb sangat membahayakan bagi diri seorang mukmin karena ia mengajak kepada lupa dosa kepada Allah dan mengacuhkannya. Dosa yang pernah diperbuatnya tidak perlu diingat-ingat karena dianggapnya masalah kecil bukan masalah besar. Ia membanggakan diri kepada Allah dengan amal ibadah yang telah dikerjakannya, dengan kesempurnaan ilmu yang telah dimilikinya, dengan harta kekayaan yang telah digunakan di jalan Allah, dan lain sebagainya. Dengan demikian ia menyangka bahwa dirinya memperoleh tempat di sisi Allah, dan menyangka bahwa dirinya dapat selamat dari siksa akhirat. Namun demikian, ia melupakan siapa sebenarnya yang memberi kekuatan untuk melakukan ibadah, siapa sebenarnya yang memberi karunia ilmu, siapa sebenarnya yang memberi kekayaan kepadanya, dan lain sebagainya. Padahal jika diteliti secara seksama, maka tidak ada artinya di sisi Allah kebanggaan seorang ‘abid dengan ibadahnya, kebanggaan orang yang berilmu dengan ilmunya, kebanggaan orang kaya dengan kekayaannya, dan seterusnya, karena semua itu adalah karunia dari anugerah Allah, sedang manusia hanya sekedar tempat dilimpahkannya karunia, anugerah dan kemurahan Allah Swt.
Dengan demikian, sifat ‘ujb mengajak hati seseorang mukmin untuk mengingkari nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya (kufr al-ni’mat). Orang yang mengingkari nikmat-nikmat Allah bukannya akan memperoleh pahala, melainkan akan memperoleh siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya. Sebagaimana peringatan Allah dalam surat Ibrahim ayat 7:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Artinya:
Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu). Maka sesungguhnya azabKu sangat pedih.
Memperhatikan uraian di atas dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Rifa’i sependapat dengan al-Ghazali bahwa sifat ‘ujb merupakan dosa besar karena ia merusak iman seseorang. Oleh karena itu hukumnya haram.


5) Al-Riya’
K.H. Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-Riya’ sebagai berikut: Riya’ menurut bahasa ialah memperlihatkan amal kebajikannya kepada manusia, adapun menurut istilah ialah melakukan ibadah dengan tujuan di dalam batinnya karena demi manusia, dunia yang dicari tujuan ibadah tidak sebenarnya karena Allah.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa al-riya’ berarti memperlihatkan amal kebajikan kepada orang lain. Dengan demikian bathin seseorang dalam melaksanakan amal ibadah atau amal kebajikan tidak bertujuan semata-mata karena Allah, melainkan karena manusia, yakni dengan memperlihatkan amal ibadahnya kepada manusia agar memperoleh pujian, penghargaan, kedudukan, popularitas, dan lain sebagainya dari mereka dengan tujuan ingin mengejar keduniawian semata.
Senada dengan definisi yang dikemukakan K.H. Ahmad Rifa’i diatas, al-Ghazali menjelaskan bahwa al-riya’ berasal dari kata al-ru’yat yang berarti melihat. Pada dasaranya, al-riya’ adalah mencari kedudukan di hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka beberapa hal kebajikan. Hanya saja kedudukan di hati manusia itu kadang-kadang dicari dengan amal-amal perbuatan selain ibadah, dan kadang-kadang dicari dengan amal-amal ibadah. Dengan perkataan lain, yang dimaksud dengan al-riya’ adalah keinginan seseorang untuk memperoleh kedudukan di hati manusia dengan cara mentaati perintah-perintah Allah.
Dengan demikian, inti kedua definisi di atas menunjukan bahwa al-riya’ berarti niat seseorang dalam melaksanakan ibadah bukan karena Allah melainkan karena manusia. Perbuatan riya’ ini, demikian K.H. Ahmad Rifa’i, merupakan perbuatan dosa besar dan haram hukumnya, sebagaimana diungkapkan dalam lanjut bait nazam di atas: Itulah dosa besar di dalam hati dan hukumnya haram juga merupakan tanda-tanda perbuatan orang kafir munafik orang beribadah wajib waspada menjauhi haramnya riya’ jangan sampai dilakukan.
Ungkapan di atas menjelaskan bahwa al-riya’ termasuk dosa besar dan hukumnya haram. Orang yang memiliki sifat ini berarti ia mengikuti perbuatan orang kafir dan munafiq. Oleh sebab itu, sifat riya’ harus ditinggalkan bagi orang mukmin, agar keimanannya tidak rusak. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Hakim dari Syadad bin Aus: Aku (Nabi) sangat mengkhawatirkan umatku melakukan perbuatan syirik.
Padahal mereka tidak menyembah berhala, matahari, bulan, batu, akan tetapi mereka berbuat riya’ (memperlihatkan) perbuatan mereka pada orang lain.
Hadits di atas dapat di pahami bahwa perbuatan riya’ seimbang dengan perbuatan syirk. Mengapa demikian? Karena jika seorang hamba dalam melakukan ibadah kepada Allah disertai dengan riya’ maka berarti ia telah menyekutukan Allah dan ibadahnya, maka amal ibadahnya tidak diterima di sisi Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Malik dari Abu Hurairah: Barang siapa melakukan suatu perbuatan karena Aku (Allah) yang di dalam perbuatan itu ia menyekutukanKu, maka semua perbuatan itu untuknya, dan Aku bebas dari perbuatan itu. Aku adalah paling kaya di antara semua yang kaya dari kesekutuan.
Pada hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad bin al-Baihaqi dari Mahmud bin Lubaid, Rasulullah bersabda: Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti terhadapmu adalah syriik kecil. Para sahabat bertanya: apa yang dimaksud dengan syirik kecil? Rasulullah bersabda: Riya’. Allah Azza wa Jalla berfirman di hari kiamat ketika membalas hamba-hambaNya dengan amal perbuatan mereka: pergilah kamu kepada orang-orang yang kamu perlihatkan amal perbuatanmu kepada mereka di dunia. Maka lihatlah. Apakah kamu mendapatkan balasan dari mereka?
Dalam pada itu K.H. Ahmad Rifa’i menggolongkan riya’ ke dalam dua tingkatan, sebagaimana diungkapkan dalam bait nazham berikut ini: Dan riya’ itu ada dua macam. Pertama, riya’ khalish namanya seperti halnya tidak menjadikan dekat kepada Allah (qurbat) di dalam hatinya melainkan tujuannya karena demi manusia. Kedua, riya’ syirk tempatnya seperti halnya menjadikan niat untuk dekat kepada Allah (qurbat) karena memenuhi permintaan Allah yang menjadi tujuan dan sekutu di dalam batin demi karena manusia dan berarti bercampur.
Ungkapan di atas dapat dipahami bahwa riya’ terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu:
a) Riya’ Khalish, yakni niat seseorang dalam melaksanakan ibadah semata-mata untuk memperoleh pujian, kedudukan dan lain sebagainya dari manusia, serta tidak bertujuan untuk dekat dengan Allah.
b) Riya’ Syirk, yakni niat seseorang dalam melaksanakan ibadah karena terdorong untuk memenuhi permintaan Allah serta terdorong pula untuk memperoleh pujian dan kedudukan dari manusia. Dengan lain perkataan, niatnya bercampur antara niat karena Allah dan niat karena manusia.
Memperhatikan penggolongan al-riya’ tersebut, dapat dikatakan bahwa riya’ syirk nampaknya lebih ringan dosanya dibanding dengan riya’ khalish, karena dalam riya’ syirk masih terlintas niat di dalam hati untuk memenuhi perintah Allah, akan tetapi sudah bercampur antara niat karena Allah dan niat karena manusia. Namun demikian kedua macam riya’ tersebut merupakan dosa besar.
Disamping kedua macam riya’ tersebut di atas, K.H. Ahmad Rifa’i masih menggolongkan riya’ menjadi dua bagian-lagi, riya’ jali dan riya’ khafi. Kedua macam riya’ tersebut sulit dihindari kecuali oleh orang yang sudah mencapai derajat mengenal Allah (Arif bi Allah). Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim: Tidak ada yang dapat selamat dari riya’ jali dan riya’ khafi kecuali orang yang arif meng-Esakan Allah, karena Allah telah mensucikan mereka dari syirik sekecil apapun.
Sedangkan riya’ khafi (riya’ yang tersembunyi) terbagi menjadi dua tingkatan:
a) Riya’ yang lebih sedikit tersembunyi dari pada riya’ jali, yaitu riya’ yang tidak mendorong seseorang untuk melakukan amal ibadah dengan tujuan semata-mata demi memperoleh pahala, melainkan riya’ tersebut meringankan seseorang untuk melakukan amal ibadah, yang dengannya ia berkehendak menuju kepada Allah. Misalnya orang yang membiasakan shalat tahajjud setiap malam dan ia merasa berat. Apabila ada tamu di rumahnya, maka ia merasa tekun dan merasa ringan dalam menjalankan shalat tahajjud.
b) Riya’ yang lebih tersembunyi lagi ialah riya’ yang tidak membekas pada amal perbuatan, serta tidak memudahkan dan meringankan seseorang untuk melakukan amal ibadah, akan tetapi ada sesuatu yang membekas di dalam bathin. Oleh karena riya’ tingkatan ini tidak membekas pada amal perbuatan, maka sulit untuk mengetahui riya’ ini kecuali melalui tanda-tandanya. Adapun tanda-tandanya yang paling jelas adalah bathin seseorang merasa senang dan gembira, jika ketaatannya kepada Allah dilihat oleh manusia.

6) Al-Takabbur
Definisi al-takabbur dikemukakan dalam kitab Abyan al-Hawa’ij sebagai berikut: Takabbur menurut bahasa berarti sombong karena merasa luhur, adapun menurut makna istilah adalah menetapkan kebijakan pada diri sendiri ada sifat baik dan luhur sebab banyak harta atau kepandaiannya.
Definisi di atas menunjukan bahwa takabbur berarti menganggap dirinya besar dan mulia (sombong) yang disebabkan oleh adanya kebajikan atau kesempurnaan pada dirinya baik berupa harta banyak yang dimilikinya, ilmu yang dikuasainya, maupun hal-hal lainnya.
Sedangkan menurut Rifa’i takabbur adalah menolak kebenaran ilmu dan menghina manusia yang tidak ada kejelekannya itulah yang dinamakan takabbur dosa besar bathinnya orang yang menghina agama Allah menjadi kafir.
Pendapat K.H. Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu daud, dan Ibnu Majah dari abu Hurairah: Allah ta’ala berfirman: “Kesombongan itu kain selendang-Ku dan kebesaran itu kain sarung-Ku. Barangsiapa menentang (menyaingi) Aku dengan melakukan dua hal tersebut, niscaya Aku lemparkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan tidak Aku pedulikan”
Pada hadits lain diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dan Abdullah bin Umar, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa di dalam hati riya’ ada kesombongan sekecil apapun, Niscaya Allah menelungkupkan wajahnya ke dalam api neraka”.

7) Al-Hasd
Definisi al-hasd diungkapkan dalam kitab Ri’ayat al-Himmat sebagai berikut: Hasd menurut bahasa berarti dengki, sedang istilah syara’ berarti, mengharapkan sirnanya kenikmatan Allah yang berada pada orang Islam baik berupa kebajikan ilmu, ibadah yang sah dan jujur, harta, maupun yang semisalnya.
Sementara al-Ghazali memberikan definisi, hasd adalah benci kepada kenikmatan dan menyukai hilangnya kenikmatan itu dari orang Islam yang diberi kenikmatan tersebut. Dengan demikian hasd berarti mengharapkan hilangnya kenikmatan dari orang lain.
Hasd harus dihindari dan ditinggalkan karena merupakan dosa besar dan haram hukumnya. Orang yang memiliki sifat hasd akan disiksa di neraka Jahim, sebagaimana diungkapkan dalam lanjut bait nazham: Adalah dosa besar wajib mundur/meninggalkannya kemudian taubat, dosanya akan lebur orang yang hasd disiksa di neraka Jahim takutlah terhadap siksa yang abadi berlindunglah kepada Allah dari sifat hasd yang haram menurut hukum syara’. Ungkapan di atas menegaskan bahwa hasd hukumnya haram karena sifat hasd menentang ketentuan Allah (qadr), dalam arti tidak ridha terhadap kenikmatan-kenikmatan yang telah Allah bagi-bagikan kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini dapat dipahami dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan Anas:

Artinya: Kemiskinan itu nyaris menjadi kekufuran, dan kedengkian itu nyaris mengalahkan ketentuan Allah (qadr).
Dalam pada itu hasd dapat menghancur leburkan seluruh amal kebajikan yang telah dilakukan oleh seorang hamba, sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah:

Hindarilah sifat hasd, karena sifat hasd itu memakan amal-kebajikan seperti api yang memakan kayu bakar. Inilah diantara hal-hal yang menyebabkan hasd menjadi hukumnya haram.

8) Al-Sum’ah
Definisi al-sum’ah dikemukakan oleh K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut: Sumah menurut bahasa adalah diperdengarkan kepada orang lain, adapun menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan benar lahiriyah ikhlas karena Allah Yang Maha Pengasih dan Luhur kemudian amal kebajikannya diceritakan kepada orang lain supaya orang lain memuliakan terhadap dirinya, itu sudah bercampur dengan haram. Hatinya tidak ridha menuju kepada Allah melainkan bathinnya menuju karena dunia itulah sum’ah, haram hukumnya sesudah melakukan amal kebajikan.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa sum’ah berarti amal ibadah yang telah dilakukan oleh seseorang dengan benar sesuai dengan hukum syara’ dan dengan niat yang ikhlas karena Allah, kemudian amal ibadah tersebut ditutur-tuturkan atau diperdengarkan kepada orang lain, agar orang lain memujinya dan menghormatinya. Perbuatan seperti itu hukumnya haram, karena ia telah mencampur adukan antara niat ikhlas karena Allah dan niat ingin mendapat penghormatan dari manusia. Hal ini sejalan dengan ungkapan Al-Ghazali:

Artinya :
Janganlah kamu menampak-nampakkan sifat keutamaan ilmu dan ketaatan.
Allah berfirman dalam surat al-Najm, ayat 32:
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ
Artinya :
Maka janganlah kamu kamu mengatakan dirimu suci.
Disini timbul pertanyaan: bagaimana jika seseorang menampakan sifat keutamaannya baik ilmunya yang luas, budi pekertinya yang luhur, ketaatannya dalam beribadah kepada Allah, maupun yang lainnya dengan tujuan agar orang lain mengikuti jejaknya atau agar orang lain mau melakukan perbuatan-perbuatan yang utama.
Dalam hal ini K.H. Ahmad Rifa’i menjelaskan bahwa sum’ah yang dilakukan dengan niat yang baik, yakni untuk memberi nasehat agar orang lain mau meninggalkan perbuatan yang tercela dan melaksanakan perbuatan yang terpuji atau untuk memberi contoh agar orang lain mau mengikuti jejaknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang utama, maka sum’ah seperti ini diperbolehkan, bahkan pelakunya akan memperoleh pahala yang besar. Syaratnya jangan sampai terbetik di dalam hati untuk memperoleh penghormatan dari manusia. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat ad-Dhuha:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Artinya :
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sum’ah tergantung dari niatnya. Jika sum’ah dengan niat demi kemaslahatan agama, maka sum’ah tersebut menjadi terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika sum’ah dilakukan dengan niat untuk memamerkan keutamaan dan keistimewaan diri agar mendapat pujian dari manusia, maka sum’ah tersebut menjadi tercela.

b. Macam-macam Sifat Terpuji
Di antara akhlak terpuji yang harus diisi dalam jiwa manusia adalah:
1) Az-Zuhd
Menurut pandangan sufi, hawa nafsu duniawi merupakan sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang terhadap hawa nafsunya mengakibatkan kebrutalan tindakan manusia dalam mengejar kepuasan nafsu. Agar manusia dapat terbebas dari godaan dan pengaruh hawa nafsunya, maka ia harus melakukan zuhd.
Dalam mengartikan zuhd, ternyata para sufi berbeda-beda sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Namun secara umum dapat diartikan bahwa zuhd merupakan suatu sikap melepaskan diri dari ketergantungan terhadap duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Sementara itu K.H. Ahmad Rifa’i mengartikan zuhd sebagai berikut: Zuhd menurut terjemah bahasa jawa adalah bertapa di dunia, menurut istilah syara’ adalah bersiap-siap di dalam hati untuk beribadah memenuhi kewajiban yang luhur sebatas kemampuan menghindar dari dunia haram zhahir dan batin menuju kepada Allah dengan benar mengharap kepada Allah untuk memperoleh surga-Nya yang luhur. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa zuhd berarti kesediaan hati untuk melaksanakan ibadah dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajiban syari’at, meninggalkan dunia yang haram, dan secara lahir batin hanya mengharap ridha Allah Swt, demi memperoleh surgaNya. Dijelaskan pula bahwa zuhd bukan berarti mengosongkan tangan dari harta, melainkan mengosongkan hati dari ketergantungan pada harta. Karena keduniawian dapat memalingkan hati manusia dari Allah Swt.
Memperhatikan uraian tentang pengertian zuhd atas, tampak secara jelas bahwa ajaran zuhd K.H. Ahmad Rifa'i masih berkaitan erat dengan tujuan syari’at. Berbeda dengan pengertian zuhd yang dikemukakan oleh sebagian sufi, seperti Abu Ali al-Daqqaq dan Yahya bin Mu’adz al-Razi mengartikan zuhd sebagi berikut:

Artinya :
Zuhd adalah engkau meninggalkan keduniawian secara total, jangan berkata bagaimana aku membangun sebuah Ribath atau membangun sebuah masjid.
Pengertian zuhd di atas sangat berlebihan karena tidak hanya sampai batas meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan yang mubah, melainkan sampai kepada meninggalkan perbuatan yang baik.
Sementara itu, menurut Ibn Taimiyah zuhd itu ada dua macam, yaitu:
a) Zuhd yang sesuai dengan syariat’, adalah meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat di akhirat.
b) Zuhd yang tidak sesuai dengan syari’at, adalah meninggalkan segala sesuatu yang dapat menolong seorang hamba untuk taat beribadah kepada Allah.
Pengertian zuhd yang sejalan dengan syari’at sebagaimana firman Allah dalam surat Qashash ayat 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Artinya :
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi.
Adapun tanda-tanda orang yang telah memiliki sikap zuhd adalah:
a) Senantiasa melakukan amal shaleh
b) Jika bertambah ilmunya, maka harus bertambah pula sifat
c) Tidak tergiur dengan keduniawian, karena keduniawian merupakan tipu daya, godaan dan fitnah
d) senantiasa berbuat untuk kepentingan akhirat, karena Allah berjanji akan memberikan kecukupan untuk kepentingan dunia dan agamanya
e) Tidak merasa tentram dan tenang jika ketika melihat segala yang wujud di dunia ini hatinya tidak hadir di hadapan Allah.
f) Jika dipuji oleh manusia, maka hatinya menjadi susah karena khawatir kalau-kalau amal kebajikannya berubah menjadi riya’ dan haram.
Adapun keutamaan orang yang melakukan Zuhd adalah:
(1) Pahala amal ibadah yang dilakukan oleh seseorang zahid dilipat gandakan oleh Allah Swt.
(2) Seorang yahid akan memperoleh ilmu dan petunjuk langsung dari Allah tanpa belajar.
Uraian di atas dapat di pahami bahwa inti zuhd adalah bukan meninggalkan keduniawian secara total, melainkan meninggalkan keduniawian yang tidak dapat membawa manfaat di akhirat.

2) Al-Qana’ah
Definisi Qana’ah menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah hatinya tenang memilih ridha Allah mengambil keduniawian sekedar hajat yang diperkirakan dapat menolong untuk taat memenuhi kewajiban (syari’at) menjauhkan maksiat.
Dalam menguraikan sifat qana’ah ini K.H. Ahmad Rifa’i mengaitkan dengan kefakiran (kemiskinan). Keutamaan orang fakir yang memiliki sifat qana’ah sebagai berikut:
a) Orang fakir yang memiliki sifat qana’ah, derajatnya lebih tinggi di hadapan Allah dibandingkan dengan orang kaya yang tidak memiliki sifat qana’ah.
b) Orang fakir yang memiliki sifat qana’ah, lebih dahulu masuk surga dibandingkan dengan orang kaya yang tidak memiliki sifat qana’ah meskipun sama-sama beribadah.
c) Orang fakir yang secara lahiriyah sedikit melakukan amal ibadah akan memperoleh pahala yang besar dari pada orang kaya yang secara lahiriyah banyak melakukan amal ibadah dan banyak bersedekah, karena orang fakir itu memiliki sifat qana’ah artinya telah ridha untuk berpaling dari keduniawian.

3) Al-Shabr
Salah satu sikap sufi yang fundamental bagi para sufi dalam usahanya untuk mencapai tujuan adalah shabr. Menurut K.H. Ahmad Rifa’i, Shabr secara bahasa adalah menanggung kesulitan, menurut istilah berarti melaksanakan tiga perkara yang pertama menanggung kesulitan ibadah memenuhi kewajiban dengan penuh ketaatan, yang kedua menanggung kesulitan taubat yang benar menjauhi perbuatan maksiat zhahir bathin sebatas kemampuan, yang ketiga menanggung kesulitan hati ketika tertimpa musibah di dunia kosong dari keluhan yang tidak benar (Rifa’i, Riayat, Juz II:30).
Definisi di atas dapat dipahami bahwa sabar merupakan kemampuan diri dalam menghadapi berbagai macam kesulitan, yang antara lain:
(a) Kemampuan untuk menghadapi kesulitan dalam melaksanakan ibadah dan menunaikan kewajiban-kewajiban syariat dengan sungguh-sungguh.
(b) Kemampuan untuk menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat yang disertai dengan taubat baik secara lahir maupun bathin
(c) Kemampuan untuk menghadapi kesulitan ketika tertimpa musibah tanpa berkeluh kesah.
Orang mukmin yang sabar dalam menghadapi berbagai macam kesulitan sebagaimana tersebut di atas akan memperoleh pahala yang tak terhingga dari sisi Allah Swt. Hal ini sesuai janji Allah dalam surat al-Zumar ayat 10:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ


Artinya:
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
Ungkapan K.H. Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan perkataan al-Ghazali:

Artinya :
Sabar itu adalah setengah dari iman.

4) Al-Tawakkal
K.H. Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-Tawakal sebagai berikut, Tawakkal bukan berarti hanya pasrah kepada Allah tanpa melakukan ikhtiar dan meninggalkan usaha mencari rizki sekedarnya melainkan sebatas kemampuan tidak boleh tidak harus berusaha memerangi hawa nafsu lainnya yang mengajak kepada kerakusan terhadap dunia karena hal ini (rakus terhadap dunia) menjadi pasukan hawa nafsu sendiri juga menjadi fitnah yang sangat buruk dan tidak hilang tawakkal seseorang yang berusaha mencari obat untuk menyembuhkan sakitnya juga wajib menolak maksiat mencari rizki untuk menolong ibadah.
Ungkapan diatas menunjukan bahwa tawakal bukan berarti hanya pasrah menunggu ketentuan Allah tanpa melakukan ikhtiar serta meninggalkan usaha mencari rizki secara total. Tetapi tawakal adalah berserah diri kepada Allah yang disertai dengan ikhtiar dan usaha mencari rizki seperlunya untuk keperluan ibadah kepada Allah, serta memerangi hawa nafsu yang mengajak kepada kesesatan dan ketamakan terhadap keduniawian, karena hal tersebut merupakan fitnah yang sangat buruk dan dapat membawa kesengsaraan manusia. Oleh karena itu seseorang yang tertimpa musibah sakit, misalnya, maka ia tidak berdiam diri hanya menunggu ketentuan Allah, melainkan harus berusaha mencari obat terlebih dahulu, baru kemudian sepenuhnya kepada ketentuan Allah. Dengan demikian tawakal bukan berarti berserah diri hanya menunggu ketentuan Allah melainkan sifat yang menjiwai usaha seseorang. Hal ini sejalan dengan ungkapan Muhammad bin Ibrahim:



Artinya:
Barangsiapa mengetahui bahwa segala urusan itu berada di tangan Allah, maka ia akan berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
Dijelaskan pula, bahwa manusia harus berserah diri kepada Allah semata, tidak boleh berserah diri kepada selain Allah, karena dengan berserah diri kepada Allah ia akan mendapat petunjuk jalan yang lurus. Jika manusia berserah diri kepada selain Allah, maka ia akan menjadi sesat dan akan menambah dosa yang lebih berat. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Hud ayat 56:
إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللّهِ رَبِّي وَرَبِّكُم مَّا مِن دَآبَّةٍ إِلاَّ هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Artinya:
Sesungguhnya aku berserah diri kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada seekor binatang melata pun melainkan dia yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.

5) Al-Mujahadah
K.H. Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-Mujahadat sebagai berikut: Mujahadat menurut bahasa berarti bersungguh-sungguh terhadap suatu perbuatan yang dituju menurut istilah berarti bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah-perintah Allah memenuhi kewajiban dan meninggalkan kemaksiatan sekuat tenaga, baik secara lahir maupun bathin.
Dengan perkataan lain, mujahadah berarti bekerja keras dan berjuang melawan keinginan hawa nafsu, berjuang melawan bujukan syaitan, berjuang menjauhi godaan-godaan syaitan, dan berjuang menundukkan diri agar tetap di dalam batas-batas syara’ untuk mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangannya. Hal ini senada dengan ungkapan al-Syarqawi: bahwa pangkal setiap kemaksiatan, syahwat, dan kelengahan adalah menuruti hawa nafsu. Sedangkan pangkal setiap ketaatan, kesadaran, kehati-hatian adalah tidak menuruti hawa nafsu.
Lebih lanjut K.H. Ahmad Rifa’i menjelaskan bahwa mujahadah tidak terbatas hanya memerangi musuh bathiniah (hawa nafsu), akan tetapi juga mencakup bersungguh-sungguh dalam memerangi musuh lahiriyah, yakni orang kafir yang nyata-nyata hendak menghancurkan Islam. Memerangi orang kafir semacam ini merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam (Rifa’i, Riayat, Juz II:137). Sebagaimana dalam surat al-Ankabut ayat 69:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami Tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.

6) Al-Ridha
Definisi al-Ridha menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah sebagai berikut: Ridha menurut bahasa adalah menerima kenyataan dengan suka hati adapun menurut istilah adalah menerima segala pemberian Allah dan menerima hukum Allah, yakni syari’at wajib dilaksanakan dengan ikhlas dan taat dan menjauhi kejahatan maksiat dan menerima terhadap berbagai macam cobaan yang datang dari Allah dan yang ditentukanNya.
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ridha berarti menerima dengan tulus segala pemberian Allah, hukumNya (syari’at), berbagai macam cobaan yang ditakdirkanNya, serta melaksanakan semua perintah dan meninggalkan sernua laranganNya dengan penuh ketaatan dan keikhlasan, baik secara lahir maupun bathin.
Seorang mukmin harus ridha terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Allah kepada hambanya karena segala sesuatu tersebut merupakan pilihan yang paling utama yang diberikan Allah pada hambanya. Sehingga tanda-tanda orang mukmin yang sah imannya diantaranya adalah orang mukmin yang ridha dalam menerima segala hukum Allah, perintah, larangan, dan janjiNya. Hal ini sejalan dengan Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dan Ibnu Hihban dari Anas: “Barang siapa tidak ridha terhadap ketentuan-ketentuan-Ku, tidak mensyukuri nikmat-nikmat-Ku, dan tidak sabar terhadap cobaan-cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku dan carilah Tuhan selain Aku”.

7) Al-Syukr
Definisi syukr menurut K.H. Ahmad Rifa’i, secara bahasa adalah senang hatinya sedang menurut istilah adalah mengetahui nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah yakni nikmat iman dan taat yang maha luhur memuji Allah, Tuhan yang sebenarnya yang memberikan sandang dan pangan kemudian nikmat yang diberikan oleh Allah itu digunakan untuk berbakti kepadaNya sekurang-kurangnya memenuhi kewajiban dan meninggalkan maksiat secara lahir dan bathin sebatas kemampuan.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa inti syukr adalah mengetahui dan menghayati kenikmatan yang diberikan oleh Allah Yang Maha Luhur. Oleh karena itu manusia wajib menghayati dan mensyukuri nikmat Allah, karena orang yang mensyukuri nikmat Allah, maka akan ditambah nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepadanya, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7 yang artinya: Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memberitahukan: sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya siksaKu sangat pedih.
Adapun untuk mensyukuri nikmat Allah ada tiga cara :
a) Mengucapkan pujian kepada Allah dengan ucapan al-hamdulillah.
b) Segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya harus dipergunakan untuk berbakti (beribadah) kepada Allah.
c) Menunaikan perintah-perintah syara’ minimal ibadah wajib dan meninggalkan maksiat dengan ikhlas lahir dan bathin.

8) Al-Ikhlas
Al-Ikhlas menurut K.H. Ahmad Rifa’i didefinisikan sebagai berikut: Ikhlas menurut bahasa adalah bersih sedangkan menurut istilah adalah membersihkan hati agar ia menuju kepada Allah semata dalam melaksanakan ibadah, hati tidak boleh menuju selain Allah.”
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhlas menunjukan kesucian hati untuk menuju kepada Allah semata. Dalam beribadah, hati tidak boleh menuju kepada selain Allah, karena Allah tidak akan menerima ibadah seorang hamba kecuali dengan niat ikhlas karena Allah semata dan perbuatan ibadah itu harus sah dan benar menurut syara’.
Ikhlas dalam ibadah ada dua macam, apabila salah satunya atau kedua-duanya tidak dikerjakan, maka amal ibadah tersebut tidak diterima oleh Allah. Rukun ikhlas dalam beribadah ada dua macam. Pertama, perbuatan hati harus dipusatkan menuju kepada Allah semata dengan penuh ketaatan. Kedua, perbuatan lahiriyah harus benar sesuai dengan pedoman fiqh. Sebagaimana dalam surat al-Bayyinat ayat 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas dalam (menjalankan) agama dengan lurus.
Lebih lanjut K.H. Ahmad Rifa’i menggolongkan sifat ikhlas menjadi tiga tingkatan:
a) Ikhlas ‘awwam, yakni seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah karena didorong oleh rasa takut menghadapi siksaanNya yang amat pedih, dan didorong pula oleh adanya harapan untuk mendapatkan pahala dariNya.
b) Ikhlas khawwash, yakni seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah karena didorong oleh adanya harapan ingin dekat dengan Allah dan karena didorong oleh adanya harapan untuk mendapatkan sesuatu dan kedekatannya kepada Allah.
c) Ikhlas khawwash al-khauwash, yakni seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah yang semata-mata didorong oleh kesadaran yang mendalam untuk mengEsakan Allah dan meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang sebenarnya, serta bathin mengekalkan puji syukur kepada Allah.
Demikian pemaparan tentang delapan sifat terpuji yang wajib diamalkan oleh setiap hamba yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, dan delapan sifat tercela yang wajib ditinggalkannya, yang dalam istilah tashawwuf disebut dengan maqamat. Ajaran tashawwuf yang hanya sampai batas pendidikan akhlaq untuk mencapai kesucian hati ini disebut tashawwuf akhlaqi. Seorang hamba yang mencapai kesucsian hati sesuci-sucinya akan memperoleh anugerah Allah baik berupa mahabbat, qurb, ma’rifat, ataupun lainnya yang dalam istilah tashawwuf disebut ahwal.

c. Al-Mahabbat, al-Qurb, dan al-Ma’rifat
Al-mahabbat, al-qurb, dan al-ma’rifat terkadang dipandang sebagai maqamat dan terkadang dipandang sebagai ahwal. Sebagai contoh misalnya, bagi al-Junaid, ma’rifat termasuk kategori ahwal, sedangkan menurut al-Qusyairi, ma’rifat termasuk kategori maqamat. Bagi al-Ghazali, ada perbedaan susunan antara ma’rifat dan mahabbat. Menurutnya, mahabbat diperoleh sesudah ma’rifat sedangkan al-Kalabadzi menegaskan bahwa mahabbat diperoleh sebelum ma’rifat.
1) Al-Mahabbat
Al-Mahabbat, Al-hubb atau al-mababbat adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dilihatnya atau apa yang diduganya baik.
K.H. Ahmad Rifa’i mengatakan bahwa cinta seorang hamba kepada Allah adalah berbakti kepada-Nya dengan jalan mematuhi semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, jika melakukan dosa harus segera bertaubat.
Adapun tanda-tanda orang yang cinta kepada Allah, menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah sebagai berikut:
a) Ia senantiasa mengikuti ajaran-ajaran Nabi Muhammad, karena dengan demikian berarti ia telah mencintai Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran: 31, yang berbunyi: “Katakanlah (hai Muhammad): jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.”
b) Ia senantiasa ikhlash dalam mematuhi semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan, karena ikhlash merupakan ruhnya ibadah.
Cinta kepada Allah memerlukan pengorbanan yang betul-betul ikhlash, yakni tidak merasa berat dalam mengabdikan diri (beribadah) kepada-Nya. Cinta kepada Allah, bagi K.H. Ahmad Rifa’i merupakan nyawanya iman dan merupakan syarat sahnya iman.
Inti paham mahabbat K.H. Ahmad Rifa’i adalah mematuhi semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangannya dengan tulus ikhlash. Paham mahabbatnya hanya sebatas cinta antara seorang ‘abid (yang menyembah) dan ma’bud (Yang Disembah). Masih ada jarak antara seorang hamba dengan Allah, bukan cinta sesama kekasih yang mempunyai persamaan derajad (munasabat). Paham mahabbatnya masih sangat erat kaitannya dengan syari’at.

2) Al-Qurb
Adapun ajarannya tentang al-qurb menurut K.H. ahmad Rifa’i ialah dekatnya hati seorang hamba dengan Allah, sehingga ia mampu menyaksikan keagungan dan kemuliaan-Nya. Ketika ia melihat segala sesuatu yang ada di alam ini, maka hatinya senantiasa merasakan bahwa segala sesuatu itu adalah ciptaan Allah dan perbuatan-Nya.
Hamba yang telah mencapai derajad kedekatan Allah, maka mata hatinya mampu memandang keagungan-Nya karena Allah benar-benar dekat dengan dirinya. Di samping itu, mata hati mampu melihat Allah semata yang memiliki perbuatan atas segala sesuatu. Adapun cara untuk berada dekat dengan Allah, K.H. Ahmad Rifa’i menjelaskan sebagai berikut:
a) Seorang hamba yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya ia keluar dari dirinya.
b) Seorang hamba yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya senantiasa ingat kepada-Nya, karena kelalaian seorang hamba kepada Allah menjadikan dirinya jauh dari Allah.
c) Seorang hamba yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya senantiasa menyandarkan diri pada anugerah dan rahmat Allah.
Jika seorang hamba telah berada dekat dengan Allah, maka ia merasa yakin bahwa Allah itu senantiasa hadir bersamanya di mana pun dan dalam kondisi apapun, serta ia yakin bahwa Allah senantiasa memperhatikan segala sesuatu yang akan menimpa dirinya karena ia melihat bahwa segala sesuatu itu baik berupa kenikmatan maupun malapetaka merupakan perbuatan Allah. Oleh karena itu, ia senantiasa menyandarkan diri kepada anugerah dan rahmat Allah.
Konsep qurb K.H. Ahmad Rifa’i termasuk kategori ahwal, karena konsep qurbnya merupakan anugerah Allah yang diperoleh tanpa wujud usaha, bukan diperoleh melalui proses pembinaan akhlak (maqamat).
Menurutnya, bahwa Allah itu memang sangat dekat dengan hambanya, bahkan Allah mengetahui apa saja yang terdapat dalam lahiriah dan batiniah manusia, sedangkan manusia itu sendiri tidak mengetahui apa yang terdapat dalam dirinya.
Sekalipun Allah sangat dekat dengan makhluq-Nya, namun kedekatan-Nya tidak sama dengan kedekatan makhluq, karena Dia adalah dzat yang wajib adanya dan Maha Sempurna serta bersifat qadim, sedangkan makhluq adalah mungkin adanya dan tidak sempurna serta bersifat hadits. Oleh sebab itu, mustahil Allah yang bersifat qadim menempati makhluqnya yang bersifat hadits.
Ajaran tashawwuf K.H. Ahmad Rifa’i tidak sampai kepada paham tentang kemanunggalan antara hamba dan Allah, seperti paham al-ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid al-Busthami (w. 874) dan paham al-Hulul yang diajarkan oleh Husein ibn Manshur al-Hallaj (w. 922 M), bahkan terlihat bahwa ajaran tashawwufnya menolak kedua paham tersebut
3) Ma’rifat
Ma’rifat, bagi K.H. Ahmad Rifa’i, merupakan puncak kedekatan seorang hamba dengan Allah sedekat-dekatnya, sehingga mata hatinya dapat melihat keagungan Allah dan keindahan-Nya, yang disertai rasa takut dan cinta di dalam hati. Kemudian ia melihat segala sesuatu yang terjadi di alam ini merupakan perbuatan-Nya. Seorang hamba yang telah mencapai tingkat ma’rifat maka mata hatinya melihat semua perbuatan dan kejadian di alam ini adalah baik, sekalipun secara lahiriah perbuatan itu dianggap haram namun mata hatinya memandangnya baik, karena semua itu merupakan perbuatan Allah.
Jalan menuju ma’rifat Allah ada lima macam, yaitu merenung atau tafakkur tentang:
a) Tanda-tanda kekuasaan-Nya akan mewujudkan tauhid dan iman kepada-Nya.
b) Nikmat-nikmat-Nya akan mewujudkan rasa cinta kepada-Nya.
c) Janji-Nya akan mewujudkan ketaatan kepada-Nya.
d) Kekurangtaatan dirinya kepada-Nya yang disertai dengan merenungi berbagai kebaikan-Nya yang telah diberikan kepada dirinya akan mewujudkan rasa malu untuk berbuat maksiat kepada-Nya.
e) Ancaman-Nya akan mewujudkan rasa takut terhadap siksaan-Nya.
Puncak ajaran tashawwuf K.H. Ahmad Rifa’i adalah ma’rifat, yakni sebatas melihat atau mengetahui rahasia-rahasia Allah seperti keindahan, keagungan, perbuatan dan sifat-sifat-Nya. Penglihatan itu diperoleh melalui cahaya-Nya yang dianugerahkan kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang diletakkan di dalam lubuk hati yang paling dalam.
PERTEMUAN 9 – 10 – 11
HAKEKAT PEMBINAAN AKHLAK TASAWUF

1. Hakikat Pembinaan Akhlak Tasawuf
Pembinaan akhlak bagi setiap muslim merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan terus menerus tanpa henti baik melalui pembinaan orang lain maupun pembinaan diri sendiri tanpa harus dituntun oleh orang lain. Pada hakekatnya pembinaan akhlak tasawuf lebih merupakan pembinaan akhlak yang dilakukan seseorang atas dirinya sendiri dengan tujuan jiwanya bersih dan perilakunya terkontrol. Dalam dunia tasawuf istilah pendidikan diri sendiri dapat dikenal dengan istilah Tazkiyat al-Nafs, Tarbiyah al-Dzatiyah dan Halaqah Tarbawiyah.
a. Tazkiyah Nafs
1) Hakekat Tazkiyah al-Nafs
Pembersihan jiwa dari kotoran-kotoran penyakit hati seperti sifat basud, kibir, ujub, riya’, sum’ ah, thama, rakus, serakah, bohong, tidak amanah, nifaq, syirik dan lain sebagainya merupakan salah satu misi utama para Rasul Allah. Ada beberapa ayat al-Qur’an yang menunjukkan atas misi tersebut.
Perhatikan do’a Nabi Ibrahim AS untuk anak cucunya, yang terdapat dalam al-Qur’an:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ العَزِيزُ الحَكِيمُ
Artinya:
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (al-Quran) dan Al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah :129)

Kemudian Allah menjawab do’a tersebut dan memberi karunia atas ummat ini sebagaimana firman-Nya:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Al-Baqarah: 151)

Ayat lain menguatkan seperti ucapan nabi Musa kepada Fir’aun:
فَقُلْ هَل لَّكَ إِلَى أَن تَزَكَّى
وَأَهْدِيَكَ إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى
Artinya:
Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri. Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar kamu takut kepadaNya. (An-Naazi’at:18-19)

Juga Allah berfirman:
الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى
Artinya:
...yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. (Al-Lail:18)
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
Artinya:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syam: 9-10).

Jelas bahwa tazkiyat al-nafs termasuk misi para Rasul, sasaran orang-orang yang bertaqwa, dan menentukan keselamatan atau kecelakaan disisi Allah. Tazkiyah secara etimologis punya dua makna: penyucian dan pertumbuhan. Demikian pula maknanya secara istilah. Zakatun nafsi artinya penyucian (tathabur) jiwa dari segala penyakit dan cacat, merealisikan (tahaquq) berbagai maqam padanya, dan menjadikan asma’ dan sifat Allah sebagai akhlaknya (takbaluq). Dengan demikian tazkiyah adalah tathahur, tahaquq dan takhaluq. Kesemuanya ini memiliki berbagai sarana yang sesuai dengan syari’at. Dampak dan pengaruhnya akan tampak pada perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan Allah dan makhluk lainnya sesuai dengan perintah Allah.
Tazkijah hati dan jiwa hanya bisa dicapai melalui berbagai ibadah dan amal perbuatan tertentu, apabila dilaksanakan secara sempurna dan memadai, seperti shalat, infaq, puasa, haji, dzikir, fikir, tilawah al-Qur’an, renungan, muhasabah dan dzikrul-maut. Pada saat itulah terealisir dalam hati sejumlah makna dan dampak bagi seluruh anggota badan seperti lisan, mata, telinga dan Iainnya. Hasil yang paling nyata ialah adab dan mu’amalah yang baik kepada Allah dan manusia. Kepada Allah berupa pelaksanaan hak-haknya termasuk di dalamnya adalah jihad di jalan-Nya. Sedangkan kepada manusia, sesuai dengan ajaran, tuntutan maqam dan taklif Ilahi.
Dampak lain yang dapat dirasakan adalah terealisirnya tauhid ikhlas, shabar, syukur, harap, santun, jujur kepada Allah dan cinta kepada-Nya, di dalam hati. Dan terhindarkannya dari hal-hal yang bertentangan dengan semua hal tersebut seperti riya’, ‘ujub, ghurur marah karena nafsu atau karena syetan. Dengan demikian jiwa menjadi tersucikan lalu hasil-hasilnya nampak pada terkendalikannya anggota badan sesuai dengan perintah Allah dalam berhubungan dengan keluarga, tetangga, masyarakat dan manusia.

2) Sarana Tazkiyyah
Yang dimaksud dengan sarana tazkiyah ialah berbagai amal perbuatan yang mempengaruhi jiwa secara langsung dengan menyembuhkannya dari penyakit, membebaskannya dari “tawanan”, atau merealisasikan akhlak padanya. Semua hal ini bisa terhimpun dalam suatu amal perbuatan.
Dalam sarana tazkiyah, ada berbagai amal perbuatan yang memberikan dampak pada jiwa ini sehingga dengan perbuatan tersebut jiwa terbebas dari penyakit atau mencapai maqam keimanan atau akhlak Islami.
Ada beberapa sarana dalam tazkiyah yaitu:
a) Shalat
Shalat adalah satu sarana tazkiyah dan merupakan wujud tertinggi dari ‘ubudiyah dan rasa syukur. Dengan demikian, ia adalah sarana itu sendiri. Jadi, ia adalah cara sekaligus sarana. Shalat yang dilakukan secara sempurna merupakan manusia bahwa jiwa dan hati tersucikan. Jadi, penuaiannya secara sempurna dan baik merupakan sarana, tujuan dan dampak. Demikian pula masalah-masalah lainnya yang berkenaan dengan pembahasan ini.
Penuaian shalat, misalnya, dapat membebaskan manusia dari sikap sombong kepada Allah Tuhan alam semesta, dan pada saat yang sama bisa menerangi hati lalu memantul pada jiwa dengan memberikan dorongan untuk meninggalkan pebuatan keji dan mungkar.
Sebelum kita memasuki bab ini perlu kami berikan beberapa penjelasan berikut ini:
Fitrah manusia bisa terkontaminasi oleh najis ma’nawi yaitu suatu kotoran yang diartikan dari hakekatnya seperti kemusyrikan, seperti dalam al-Qur’an menyatakan “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”, terkontaminasi lumpur hawa nafsu yang salah, seperti dalam al-Qur’an yang artinya: “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”, atau terkontaminasi oleh berbagai perangai binatang yang tidak cocok untuk manusia, “Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”. Sebagaimana di dalam jiwa juga terdapat kecenderungan untuk menentang rububiyah, seperti sikap sombong dan angkuh. Jiwa juga bisa tertutup oleh berbagai kegelapan sehingga tidak bisa melihat berbagai hakekat sebagaimana mestinya. Karena itu, jika dikatakan tazkiyat al-nafs maka yang dimaksud adalah pembebasan jiwa dari berbagai najis yang mengotorinya, berbagai hawa nafsu yang keliru, berbagai perangai kebinatangan yang nista, penentangan terhadap rubbubiyah dan berbagai kegelapan. Para Rasul diutus tidak lain adalah untuk melaksanakan misi seperti ini.
Antara manusia dan binatang ada unsur-unsur kesamaan yang diperlukan kehidupan manusia, namun hal seperti ini tidak menjadi pembahasan kami. Berbagai macam syahwat yang dibenarkan terkait dengan berbagai kemaslahatan yang dibenarkan pula, hal ini juga tidak menjadi pembahasan kajian kami. Allah telah menjadikan pada manusia kesiapan untuk berakhlak dengan berbagai kesempurnaan, seperti santun dan kasih sayang, dan menjadikan untuknya beberapa sifat seperti mendengar dan melihat. Berbagai kesempurnaan yang bisa menjadi sifat manusia ini, yang merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, tidak termasuk didalamnya apa yang kami maksud.
Berbagai taklif Ilahi tercurahkan untuk kemaslahatan individu dan masyarakat, sementara itu tidak ada kemaslahatan bagi individu dan masyarakat kecuali dengan menyucikan jiwa individu. Oleh karena itu diantara taklif Ilahi yang terpenting adalah apa yang bisa membersihkan jiwa.
Titik awal dan akhir dalam taklif Ilahi adalah tauhid yang membersihkan dari berbagai karat kemusyrikan dan berbagai akibatnya seperti ‘ujub, ghurur, dengki dan lain sebagainya. Sesuai dengan sejauh mana tauhid itu tertanam dalam jiwa sejauh itu pula jiwa akan tersucikan dan memetik berbagai buah tauhid seperti sabar, syukur, ‘ubudiyah, tawakal, ridha, takut, harap, ikhlas, jujur, dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, kami menjadikan sarana pertama dalan tazkiyah adalah shalat. Shalat berikut sujud, ruku’ dan dzikirnya membersihkan jiwa dari kesombongan kepada Allah dan mengingatkan jiwa agar istiqamah diatas perintahNya:
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar”, Jadi shalat merupakan salah satu sarana tazkiyah.

b) Zakat dan Infaq
Zakat dan infaq bisa membersihkan jiwa dari bakhil dan kikir, dan menyadarkan manusia bahwa pemilik harta yang sebenarnya adalah Allah. Oleh sebab itu, kedua ibadah ini termasuk dalam bagian dari tazkiyah, “Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya”.

c) Puasa
Puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk mengendalikan syahwat dan kemaluan, sehingga dengan demikian ia termasuk sarana tazkiyah, “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Tujuan dari puasa tidak hanya sekedar menahan haus dan lapar dari mulai terbit fajar hingga matahari tenggelam, namun lebih dari itu, yaitu melatih kesabaran dan mengekang hawa nafsu dari keinginan-keinginan nafsu duniawi. Sehingga dengan bepuasa setiap hamba dapat mendekatkan diri pada Allah SWT dengan khusyu’ tanpa terbebani keinginan-keinginan duniawi.

d) Dzikir dan Pikir
Membaca Al-Qur’an dapat mengingatkan jiwa kepada berbagai kesempurnaan, karenanya ia merupakan salah satu jenis dzikir dan merupakan sarana tazkiyah, “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya).
Berbagai dzikir yang bisa memperdalam iman dan tauhid di dalam hati, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. Dengan demikian jiwa bisa mencapai derajat tazkiyah yang tertinggi, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”.
Dzikir dan pikir adalah dua sejoli yang dapat membukakan hati manusia untuk menerima ayat-ayat Allah, oleh karena itu tafakkur termasuk sarana tazkiyah, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat manusia-manusia bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun, Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. Munculnya nilai-nilai dalam hati tidak lain adalah melalui perpaduan antara dzikir dan pikir.



e) Mengingat Kematian
Kadang jiwa manusia ingin menjauh dari pintu Allah, bersikap sombong, sewenang-wenang atau lalai, maka mengingat kematian akan dapat mengendalikannya lagi kepada ‘ubudiyah-Nya dan menyadarkannya bahwa ia tidak memiliki daya sama sekali, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya”. Oleh karena itu, mengingat kematian merupakan salah satu sarana tazkiyah, “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?”
Muhasabah harian terhadap jiwa dan muraqabullah juga dapat mempercepat taubat dan memperkuat laju peningkatan (taraqqi), karenanya muhasabah merupakan salah satu sarana tazkiyah, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)”.
Jiwa terkadang tidak terkendalikan lalu terjerumus ke dalam kelalaian, maksiat atau syahwat sehingga harus dilakukan mujahaddah (kerja keras) agar bisa kembali, Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”.

f) Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Tidak ada hal yang sedemikian efektif untuk menanamkan kebaikan ke dalam jiwa sebagaimana perintah untuk melakukan kebaikan, dan tidak ada hal yang sedemikian efektif untuk menjauhkan jiwa dari keburukan sebagaimana larangan darinya. Oleh karena itu, amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu sarana tazkiyah, bahkan orang-orang yang tidak memerintahkan yang ma’ruf dan tidak mencegah kemungkaran berhak mendapat laknat Kotoran jiwa apakah yang lebih besar dari laknat? “Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan yang mereka perbuat, sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka selalu perbuat itu”.
Kaitkanlah antara firmanNya, “Sesungguhnya telah berbahagia orang yang mensucikannya”, dan firmanNya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. Perhatikanlah kalimat “orang-orang yang beruntung” niscaya manusia mengetahui bahwa amar ma’ruf, nahi munkar dan ajakan kepada kebaikan merupakan salah satu sarana tazkiyah.
Jika amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu sarana tazkiyah, maka demikian pula jihad karena ia merupakan bentuk pengukuhan kebaikan dan pengikisan kemungkaran. Oleh karena itu, mati syahid di jalan Allah adalah penghapus dosa. Orang yang berjihad di jalan Allah terbebas secara langsung dari rasa takut dan kikir karena ia menerjang kematian dengan niat menjual dirinya kepada Allah, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh”. Tidak dapat melakukan hal tersebut secara sempurna dan baik kecuali orang-orang yang yang disebutkan sifatnya oleh Allah dengan firmanNya, "Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu”. Jadi jihad adalah salah satu sarana tazkiyah, bahkan merupakan sarana paling tinggi dan tidak dapat melakukannya pada ghalibnya kecuali orang yang tersucikan jiwanya.
Itulah berbagai induk sarana tazkiyah secara umum, disamping ada beberapa macam tazkiyah khusus bagi beberapa penyakit khusus. Semakin sempurna sarana ini direalisasikan semakin sempurna pula hasil-hasilnya, dan sebaliknya.
Nilai-nilai bathiniyah dalam hal shalat, zakat, puasa dan tilawah Al-Qur’an telah dilupakan oleh banyak orang, padahal berbagai ibadah utama dalam islam akan dapat menerangi dan mensucikan jiwa tergantung kepada sejauh mana nilai-nilai bathiniahnya tersebut diperhatikan. Ia akan dapat memberikan pengaruh yang sempurna apabila ditunaikan secara sempurna, yakni amal-amal lahiriyah disertai dengan amal-amal bathiniah, seperti shalat disertai khusu’, zakat disertai dengan niat yang baik, tilawah Al-Qur’an disertai dengan tadabur yang baik dan dzikir yang menghadirkan hati (hudhur). Bentuk penunaian ini merupakan penerang dan pensuci bagi kesempurnaan. Karena aspek spiritual dari hal-hal ini telah terjangkiti oleh penyakit wahan dan kekurangan di kalangan para penempuh jalan menuju Allah, maka hal tersebut menjadi fokus pilihan kami karena hal-hal yang bersifat lahiriyah biasanya tidak terlupakan di kalangan orang-orang yang hidup di lingkungan islam.

3) Tujuan Tazkiyat Al-Nafs
Ada perselisihan filosofis seputar: apakah tidak ada kaitan antara sarana, tujuan dan dampak, ataukah ada mata rantai saja? Masalahnya relatif. Setiap sarana adalah tujuan bagi yang lainnya, dan setiap tujuan merupakan sarana bagi yang lainnya. Jadi hasil-hasil itu sendiri tidak keluar dari keberadaannya sebagai tujuan dan sarana bagi sesuatu yang lain. Apapun kesimpulan perdebatan ini, proses pengajaran, penyederhanaan dan pemaparan ini menuntut penjelasan rinci yang membahas masalah sarana, tujuan dan hasil atau dampak tersebut masing-masing secara terpisah. Memang pada akhirnya ada saling keterkaitan, tetapi saling keterkaitan ini tidak muncul sebagaimana munculnya pada pembicaran tentang tazkiyah yang tengah dibahas ini.
Tujuan dari upaya pembersihan diri ini akan terlaksana apabila telah melampai beberapa tahap. Tahapan ini merupakan sarana yang tepat sebagai upaya pelaksanaan tazkiyah al-nafs. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
a) Tathahhur (Upaya mensucikan diri)
Usaha seseorang untuk dapat memulai tazkiyat al-nafs adalah melalui tathahur. Upaya ini diawali dengan taubat dan berjanji tidak akan mengulangi lagi segala perbuatan yang bisa mengotori jiwa atau hati, seperti nifaq, berdusta, khianat, mengingkari janji, hasud, riya’, kibir, sum’ah, ujub, su’udhan dan lain-lain. Ia harus mengikis habis segala yang bisa menggoda hatinya untuk kembali melakukan perbuatan-perbuatan kotor. Dengan cara ini, jiwanya akan terasa kosong dari penyakit-penyakit tadi, sehingga dapat dikatakan jiwanya bersih.
b) Takhallaq (upaya menghiasi diri dengan akhlak al-karimah)
Setelah seseorang berusaha mensucikan diri dari perbuatan-perbuatan kotor pada jiwanya, maka ia harus berupaya mengisinya dengan perbuatan-perbuatan mulia (akhlak mulia). Sifat-sifat seperti nifaq, berdusta, khianat, mengingkari janji, iri dengki, riya’, kibir, sum’ah, ujub, su’udhan dan lain-lain haruslah diganti dengan sifat-sifat akhlak mulia seperti jujur, amanah, tawakkal, sabar, tawadhu’, tadharru’, qana’ah, iffah, dan lain-lain. Dengan cara ini jiwa atau seseorang akan terhiasi perilaku-perilaku baik yang pada akhirnya perlu perwujudan dalam perilaku.
c) Tahaqquq (Upaya merealisasikan kedudukan-kedudukan mulia atau biasa disebut Maqamatul Qulub)
Upaya ini merupakan puncak dari proses tazkiyatal-nafs, karena takhalluq merupakan cara dan jalan bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Allah Swt sehingga ia akan memperoleh kedudukan yang mulia disisi-Nya. Untuk dapat berada dekat dengan Allah sedekat-dekatnya, seorang muslim harus menempuh perjalanan panjang yang dalam istilah Arab dikenal dengan maqamat, sebagai bentuk jamak dari kata maqam. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat al-Shaffat ayat 164 yang berbunyi:
وَمَا مِنَّا إِلَّا لَهُ مَقَامٌ مَّعْلُومٌ
Artinya:
Tiada seorangpun diantara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu.

Kedudukan tersebut merupakan tempat yang mulia di sisi Allah Swt Sebagaimana yang dijanjikan Allah Swt dalam surat Ibrahim ayat 14:
وَلَنُسْكِنَنَّـكُمُ الأَرْضَ مِن بَعْدِهِمْ ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ
Artinya:
Dan kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.




4) Buah Tazkiyyatun Nafs
Aktifitas-Aktifitas tazkiyah yang dapat mencontoh Rasulullah saw ini dapat menghasilkan buah-buah ‘amaliyah, buah-buah ini disebut Tsamaratut-Tazkiyyah, yaitu:
a. Dhabtul-Lisan (Lisan yang terkontrol)
Rasulullah menjadikan lurusnya lisan sebagai syarat bagi lurusnya hati, dan menjadikan lurusnya hati sebagai syarat lurusnya iman. Sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda:

Artinya:
Keimanan seorang hamba tidak akan lurus sebelum lurus hatinya, dan harinya tidak akan lurus sebelum lurus lisannya.

Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Umar r.a. secara marfu’, berkata:

Artinya:
Janganlah kalian berbanyak kata selain dzikrullah, sesungguhnya hal itu akan menjadikan kerasnya hari. Dan manusia yang paling jauh dari Allah adalah pemilik hati yang keras.

Selanjutnya Rasulullah bersabda:

Artinya:
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.
Hadits ini memuat perintah Rasulullah untuk berbicara yang baik-baik atau diam jika pembicaraan itu tidak baik (tidak bermanfaat). Apabila perintah Rasulullah ini dikksanakan maka akan dapat memetik buah dari tazkiyah, yaitu seorang muslim dapat mengontrol lisannya sehingga ia akan senantiasa terjaga lisannya dari perkatan yang tidak baik.
b. Iltizam Bi Adabil ‘Ilaqat (Komitmen dengan adab-adab pergaulan)
Hasil lain dari tazkiyah yang dapat dipetik adalah berkomitmen dengan adab-adab pergaulan. Ada 4 (empat) macam klasifikasi manusia dalam pergaulan, yaitu:
1) Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat mengkonsumsi makanan yang bergizi. Ia dibutuhkan siang dan malam. Jika seseorang telah menyelesaikan keperluannya ia ditinggal, dan jika diperlukan lagi ia didatangi, demikian seterusnya. Mereka adalah para ularna, ahli ma’rifatullah, memahami perintah-perintahNya, mengerti tipu daya musuh-musuhNya, dan memiliki ilmu tentang penyakit-penyakit hati serta obatnya. Mereka adalah orang-orang yang setia kepada Allah, KitabNya, rasulNya, dan seluruh makhluk. Bergaul dengan mereka adalah keberuntungan yang nyata.
2) Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat mengkonsumsi obat. Ia dibutuhkan dikala sakit, selama sehat tidak diperlukan pergaulan dengan mereka. Mereka adalah para profesional dalam urusan muamalat, bisnis dan yang semisalnya. Bergaul dengan orang-orang seperti ini dapat membawa urusan ma’siyah menjadi lancar.
3) Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat mengkonsumsi penyakit. Ada penyakit ganas yang memakan waktu lama untuk disembuhkan. Orang yang semacam ini tidak membawa keuntungan dunia ataupun akhirat.
4) Segolongan orang yang bergaul dengan mereka adalah kebinasaan total. Mereka ibarat racun. Jika seseorang tidak sengaja memakannya itupun sudah suatu kerugian. Golongan ini banyak sekali, mereka adalah ahli bid’ah dan kesesatan, penghalang sunnah Rasulullah penyeru kepada perselisihan. Bergaul dengan mereka juga membawa kerugian dunia dan akhirat.
Dengan tazkiyah ini seorang muslim dapat menentukan batasan-batasan dalam pergaulan, dimana ia bisa menempatkan diri dalam golongan pergaulan yang membawa keselamatan dunia dan akhirat.

b. Tarbiyah Dzatiyah
1) Hakekat Tarbiyah Dzatiyah
Istilah tarbiyah dzatiyah merupakan sejumlah sarana tarbiyah yang diberikan orang Muslim, atau Muslimah, kepada dirinya, untuk membentuk kepribadian Islami yang sempurna diseluruh sisinya; ilmiah, iman, akhlak, sosial, dan lain sebagainya, dan naik tinggi ketingkatan kesempurnaan manusia. Tarbiyah dzatiyah ini juga bisa dikatakan pembinaan (tarbiyah) seseorang terhadap dirinya sendiri. Tarbiyah dzatiyah sudah pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah. Bisa dilihat dari sejarah keberhasilan sahabat-sahabat Rasulullah, dimana mereka mampu tampil menjadi figur-figur hebat, dengan ciri khas dan kelebihannya masing-masing. Salah satu kuncinya adalah masing-masing dari mereka mampu mentarbiyah (membina) diri sendiri dengan optimal, meningkatkan kualitas diri menuju tingkatan seideal mungkin, mengadakan perbaikan diri secara konsisten dan kontinyu, serta meningkatkan semua potensi diri mereka sehingga tidak ada satu pun potensi mereka yang terabaikan.

2) Sarana-sarana Tarbiyah Dzatiyah
Banyak sekali sarana-sarana dalam tzabiyah seorang muslim terhadap dirinya sendiri. Sarana-sarana tersebut adalah :
a) Muhasabah
Muhasabah merupakan penyucian atau pembersihan diri sebagai alat untuk mengintrospeksi dirinya sendiri. Seorang muslim mulai mentarbiyah dirinya sendiri dengan cara pertama-tama melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya sendiri atas kebaikan dan keburukan yang telah ia kerjakan, meneliti kebaikan dan keburukan yang ia miliki, agar ia dapat segera menyadari dan melakukan perbaikan terhadap dirinya sendiri.
Hal yang pertama kali perlu di muhasabahi seseorang pada dirinya ialah kesehatan akidahnya, kebersihan tauhidnya dan kebersihannya dari syirik kecil dan tersembunyi, yang keduanya sering kali disepelekan serta keyakinan-keyakinan dan perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan atau melemahkan tauhid. Lalu ia memuhasabahi dirinya atas pelaksanaan kewajiban-kewajiban, shalat lima waktu berjamaah, bakti kepada kedua orang tua (birrul walidain), menyambung hubungan kekerabatan, amar ma’ruf nahi munkar dan juga memuhasabahi dirinya tentang sejauh mana pelaksanaan ibadah-ibadah sunnah dan ketentuan-ketentuan lainnya oleh dirinya.

b) Taubat dari Segala Dosa
Diantara sarana tazkiyah adalah taubat karena ia dapat meluruskan perjalanan jiwa setiap kali melakukan penyimpangan, dan mengembalikannya kepada titik tolak yang benar. Taubat juga bisa menghentikan laju kesalahan jiwa, sehingga Allah melimpahkan karuniaNya kepada orang-orang yang bertaubat dengan mengubah kesalahan-kesalahan mereka menjadi kebaikan, “kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan”.
Hal yang terpenting yang harus dilakukan ketika sesorang muslim beribadah kepada Allah Swt adalah bertaubat dari segala dosa. Caranya dengan bertaubat dari segala maksiat, aib, dan ketidaksempurnaan di aspek pemikiran, amal, akhlak, dan lain sebagainya. Juga dengan cara merasa butuh kepada Allah Swt, dekat kepada-Nya, dan keridhaan-Nya. Ini semua bisa diwujudkan dengan cara membersihkan diri dari semua dosa dan kekurangan pada dirinya. Mengenai anjuran bertaubat Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.

Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa Allah menganjurkan setiap orang mukmin untuk bertaubat nashuhah (hakiki). Taubat nashuhah adalah taubat yang jujur dan serius, yang menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya dan melindungi pelakunya dari dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya. Dilakukan dengan cara berhenti dari dosa pada masa mendatang, menyesali dosa-dosa silamnya, dan bertekad tidak akan mengerjakannya lagi pada masa mendatang. Dengan taubat kepada Allah Swt maka seorang muslim telah memulai pelaksanaan tarbiyah terhadap dirinya sendiri.

c) Mencari Ilmu dan Memperluas Wawasan
Sarana selanjutnya dalam tarbiyah dzatiyah adalah mencari ilmu dan memperluas cakrawala pengetahuan, dimana ini merupakan aspek dan sarana penting dalam tarbiyah dzatiyah yang ideal dan mengarahkannya dengan pengarahan yang benar. Sebab bagaimana mungkin seseorang dapat mentarbiyah dirinya dengan tarbiyah yang benar, jika tidak tahu hal halal, haram, kebenaran, kebathilan, manhaj, dan sarana yang benar atau salah. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab berkata, Ketahuilah, mencari ilmu itu wajib dan menyembuhkan hati yang sakit. Yang paling penting bagi seorang hamba ialah ia tahu agamanya, dimana mengetahui dan mengamalkannya adalah jalan masuk ke sorga.

d) Mengerjakan Amalan-amalan Iman
Mengerjakan amalan-amalan iman termasuk sarana yang bervariatif, sangat besar pengaruhnya pada jiwa, karena cara ini merupakan realisasi dari perintah-perintah Allah dan rasul-Nya. Cara ini merupakan ujian untuk mengetahui sejauh mana kejujuran orang-orang yang mengerjakannya dalam mencari petunjuk serta beristiqamah, dan dengan mengerjakan amalan-amalan iman ini merupakan bukti kuat keinginan ikhlas orang yang bersangkutan dalam mentarbiyah dirinya dan memperbaikinya.
Amalan-amalan iman ini sangat bervariatif diantaranya, mengerjakan ibadah-ibadah wajib seoptimal mungkin seperti mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa dan mengeluarkan zakat, meningkatkan porsi ibadah-ibadah sunnah, peduli dengan ibadah dzikir termasuk membaca al-Qur’an.

e) Memperhatikan Aspek Akhlak (Moral)
Pembinaan akhlak merupakan aspek penting dalam tarbiyah dzatiyah. Islam sangat peduli dengan aspek akhlak (moral) yang baik. Seluruh perintah, larangan, ibadah dan ketaatan Islam membuahkan hasil positif dalam jiwa dan kehidupan manusia. Diantara hasil terbesar akhlak terkait dengan hak Allah Swt ialah takut kepada-Nya. Hasil positifnya terkait dengan hak manusia adalah berakhlak baik ketika bergaul dengan mereka dan berbuat baik kepada mereka, karena agama adalah muamalah
Allah Swt berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Selanjutnya Allah juga berfirman:
وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Artinya:
Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.

Dalam hadits Rasulullah Saw bersabda:

Artinya:
Sesungguhnya orang mukmin pasti mendapatkan derajat orang yang puasa dan qiyamul tail dengan akhlaknya yang baik. (Diriwayatkan Abu Dawud)

Akhlak menjadi salah satu sarana tarbiyah dzatiyah, sekaligus tujuannya pada saat yang sama. Oleh karena itu, setiap orang muslim harus mentarbiyah dirinya dengan akhlak yang dianjurkan agama Islam, seperti sabar, thawadhu', dermawan jujur dan masih banyak alagi akhlak-akhlak mulia yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

3) Buah Tarbiyah Dzatiyah
Jika seorang muslim benar-benar melaksanakan pembinaan akhlak terhadap dirinya sendiri maka ia akan memperoleh hasil atau buah dari Tarbiyah Dzatiyah. Buah dari tarbiyah dzatiyah diantaranya:
a) Keridhaan Allah Swt dan Surga-Nya
Jika seorang muslim melakukan tarbiyab dzatiyah secara sempurna, dengan cara mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhkan diri dari segala maksiat, maka ia akan mendapat keridhaan Allah SWT, lalu memperoleh surga-Nya yang merupakan dambaan seluruh orang Muslim di akhirat kelak.
Allah berfirman:
مَنْ عَمِلَ سَيِّئَةً فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَمَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya:
Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu dan barang siapa mengerjakan amal yang shalih baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rizki didalamnya tanpa hisab.
Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلاً
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga firdaus menjadi tempat tinggal.

Tingkatan orang di surga sangat ditentukan oleh sejauh mana tarbiyah dan tazkiyah (penyucian dirinya). Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِناً قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُوْلَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى
Artinya:
Dan barang siapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal shalih, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia).

b) Kebahagiaan dan Ketentraman
Semua orang mencari kebahagiaan bathin dan ketentraman jiwa. Namun, banyak dari mereka salah jalan dalam upaya mendapatkannya dan tidak tahu jalan-jalannya. Sebab mereka mencari kebahagiaan dan ketentraman di makanan, minuman, syahwat, maksiat dan sebagainya. Mereka hanya mendapatkan kebahagiaan sesaat dan semu. Allah Swt membimbing manusia untuk selalu mentarbiyah diri manusia sendiri, sehingga buah tarbiyah yang diperoleh adalah kebahagiaan dan ketentraman batinnya. Sebagaimana firman Allah Swt:



Artinya:
Barang siapa yang mengerjakan amal shalih baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya pasti Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.

c) Dicintai dan Diterima Allah
Allah Swt menjanjikan barangsiapa memperbaiki dan mentarbiyah dirinya untuk beriman, bertakwa dan beramal shalih, ia mendapatkan cinta Allah Swt. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits qudsi:

Artinya :
Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan (melakukan) ibadah-ibadah sunnah, hingga Aku mencintainya.

Lalu, tanpa keinginan dan pilihan orang itu mendapatkan cinta manusia, penghormatan mereka dan Allah Swt membuat mereka menerima dirinya.
Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدّاً
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang.

d) Terjaga dari Keburukan
Allah Swt menjaga orang Muslim dari keseluruhan musibah dunia, hal-hal yang tidak mengenakan di kehidupan, pihak-pihak yang menginginkan keburukan baginya, yaitu setan-setan dari kalangan manusia dan jin, bahkan menjaga dari hewan-hewan buas, singa dan lain sebagainya.
Allah Swt berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ
Artinya:
Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman.
Allah Swt juga menjaga telinga, mata, potensi akal, dan potensi fisik orang yang bertakwa dan senantiasa melakukan tarbiyah terhadap dirinya. Ibnu Rajab barkata: “Barang siapa menjaga Allah pada masa muda dan masa kuatnya, maka Allah menjaganya pada masa tuanya dan ketika kekuatannya melemah, serta memberinya kenikmatan pada telinga, mata, kekuatan, dan akalnya. Sebagai contoh dalam hal ini ialah salah seorang ulama telah berusia lebih dari seratus tahun, tetapi ia tetap hidup dengan kekuatan dan akal yang utuh seperti semula. Pada suatu hari, ia melakukan loncatan keras dan ia pun dikecam karenanya. Ia berkata, “Aku menjaga organ tubuh ini dari maksiat ketika aku masih kecil, lalu Allah menjaganya ketika aku telah tua.” Hal ini sebagai penegasan sebagaimana yang disebut di dalam hadits Rasulullah.

Artinya:
Jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapatkan-Nya di depanmu (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

e) Jiwa Merasa Aman
Ketentraman adalah kehidupan bagi hati, cahaya di mana ia bersinar dengannya, kebangkitan baginya, dan kekuatan yang menguatkan tekadnya, membuatnya tegar terhadap seluruh penderitaannya, dan mengontrol jiwa ketika tidak bersabar. Karena itu orang mukmin semakin kuat imannya dengan ketentraman yang ada padanya.
Semua orang di kehidupan ini pasti diliputi ketakutan-ketakutan dan duka dari semua arah. Karena mereka tidak tahu apa yang akan diputuskan Allah Swt terhadap dirinya dan juga tidak tahu masa depan apa yang akan ditetapkan Allah Swt. Seorang Muslim yang telah mentarbiyah dirinya tidak akan merasa takut dan sedih terhadap apa yang terjadi pada masa silamnya, masa kininya, dan masa depannya. Mereka yakin bahwa Allah Swt akan memberikan rahmat pada umat-Nya dan mengampuni dosa-dosanya. Mereka merasa aman atas rizki dan mata pencahariannya, serta merasa aman dan ridha dengan takdir Allah karena di dalamnya terdapat kebaikan.
Firman Allah Swt:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak (pula) berduka cita.

Selanjutnya firman Allah yang lain:
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَاناً مَّعَ إِيمَانِهِمْ
Artinya:
Dia yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang Mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).

c. Halaqah Tarbawiyah
Betapapun tarbiyah dzatiyah merupakan faktor terpenting dalam pembinaan akhlak, akan tetapi dalam realitas kehidupan seseorang akan menghadapi kendala yang sangat besar untuk bisa merealisasikan tarbiyah dzatiyah.
Uniknya hambatan yang paling besar muncul dalam diri seseorang, seperti kurangnya disiplin, tidak konsisten, tidak jujur pada diri sendiri, lemah semangat dan lain-lain. Maka dalam rangka merealisasikan tarbiyah dzatiyah perlu ditopang dengan perilaku lain baik langsung maupun tidak langsung. Rasulullah Saw memberikan isyarat tentang hal tersebut dengan sabdanya:

Artinya:
Orang mukmin merupakan cerminan saudaranya




Selanjutnya Allah Swt berfirman:

Artinya:
Bahkan para sahabat sebagai generasi terbaik setelah Rasulullah Saw mentradisikan pembinaan diri mereka sendiri ke arah yang lebih baik dengan melibatkan sahabat yang lain.

Hudzaifah Ibn Yaman pernah berkata:

Artinya:
Mari kita duduk bersama untuk merenungkan iman kita sesaat.

Pada umumnya setiap orang mempunyai forum dengan orang lain baik yang berkaitan dengan bidang profesi pedagang, petani, pegawai dan lain-lain. Berbeda jika forum yang terkait dengan kegiatan sosial, politik, keluarga dan lain-lain. Akan tetapi sangatlah sedikit orang yang mempunyai forum internalisasi keimanan.
Di kalangan pengamal thariqah yang merupakan bagian dari kegiatan sebagian kalangan tasawuf dikenal dengan adanya seorang mursyid. Seorang mursyid biasanya menjadi rujukan para pengamal thariqah khususnya di dalam menjalankan wirid-wirid. Bahkan idealnya seorang mursyid juga menjadi pembimbing dalam berprilaku agar sesuai dengan akhlak al-karimah yang sering disebut dengan suluk.
Apa yang dilakukan para pengamal thariqah dalam menghimpun diri pada sebuah kelompok thariqah dengan bimbingan seorang mursyid jika dikaitkan dengan beberapa hadits Nabi Saw dan tradisi yang dilakukan para sahabat dalam membina keimanan secara jama’i (kolektif) dapat diadopsi secara massal sebagai konsep pembinaan akhlak tasawuf dalam bentuk halaqah. Halaqah sesuai dengan arti lughawi adalah lingkaran dimana orang menghimpun diri di dalamnya dengan dipandu oleh seorang murabbi (pembimbing) untuk bersama-sama membina diri mereka baik dari segi penambahan ilmu maupun pengamalan. Inilah yang kemudian dinamakan halaqah tarbawiyah.
Kegiatan halaqah ini berbentuk pertemuan rutin minimal sekali dalam seminggu dengan agenda kegiatan, antara lain :
1) Tadarus al-Qur’an
2) Pemberian materi
3) Internalisasi materi dalam pengamalan
4) Dialog permasalahan umat
5) Evaluasi diri atau muhasabah
6) Penutup
Disamping kegiatan rutin mingguan, halaqah juga bisa mengadakan acara-acara khusus untuk menguatkan spiritual seperti qiyamul lail bersama, buka puasa sunnah, rihlah untuk memperkuat ukhuwah, tadabbur dan lain-lain. Intinya forum ini tidak hanya mengkaji Islam dalam dataran wacana, akan tetapi dilanjutkan ke arah internalisasi atau pengamalan bahkan hingga pada tataran bagaimana dakwah pada kaumnya.
Dalam bentuk pembinaan akhlak tasawuf, melalui halaqah akan dihasilkan manfaat:
1) Tertanamnya keyakinan keimanan kuat kepada aqidah dan kebenaran Islam.
2) Terbentuknya akhlak al-karimah secara nyata dalam wujud perbuatan baik dalam ruang lingkup individu, keluarga dan masyarakat termasuk di dalamnya di lingkungan kampus.
3) Terciptanya ruh ukhuwah Islamiyah di dalam kehidupan sosial.
4) Optimalisasi amal untuk mendakwah keislaman khususnya melalui Qadwah atau tasawuf.
5) Terpeliharanya kepribadian dan amal dari pelbagai pengaruh yang bisa merusak dan melemahkannya.
6) Mengkoreksi dan memperbaiki berbagai bentuk kesalahan dan penyimpangan melalui tausiyah dan mau’idzah khasanah.

2. Langkah-Langkah Pembinaan Akhlak
Beribadah merupakan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya (Allah Swt). Dalam mewujudkan pengabdianya manusia berusaha untuk senantiasa bersih atau suci dari segala dosa-dosa yang melekat pada diri manusia. Upaya-upaya tersebut sudah banyak dilakukan oleh mereka yang ingin dekat dengan Allah Swt. Salah satunya adalah pembinaan akhlak yang dalam pembahasan ini lebih ditekankan pada pembinaan akhlak melalui Tarbiyah Dzatiyah, Tarbiyah al-Nafs dan Halaqah Tarbawiyah. Disinilah para ahli perjalanan kepada Allah mengambil langkah pendekatan diri pada Tuhannya dengan cara muraqabah, muhasabah, musyarathah, mujahadah dan mu’tabah, dimana cara seperti ini sebagai salah satu sarana tazkiyatun nafs.
Manusia yang senantiasa metazkiyah dirinya akan selalu mengingat bahwa Allah mengawasi mereka, menanyai mereka dalam proses hisab, dan akan dituntut dengan berbagai tuntutan yang sedetail-detailnya. Dan tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali lazumul muhasabah (muhasabah secara terus menerus), shidul muraqabah (muraqabah secara benar), muthalabatun nafsi (menuntut jiwa) dalam semua nafas dan gerak dan muhasabah terhadap jiwa dalam segala hal dan keadaan. Barangsiapa meng-hisab dirinya sebelum dihisab, maka akan ringan hisabnya di hari kiamat, bisa menjawab pertanyaan yang diajukan, dan mendapatkan tempat kembali yang baik. Tetapi barang siapa yang tidak meng-hisab dirinya maka akan menyesal selamanya, akan lama penantiannya di pelataran kiamat, dan berbagai keburukan akan menyeretnya kepada kehinaan dan murka. Setelah hal itu terungkap, maka manusia akan mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka kecuali ketaatan kepada Allah.
Dalam pada itu Allah telah memerintahkan mereka agar bersabar dan bersiap siaga (murabathah). FirmanNya “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga...” Mereka mempersiapsiagakan diri mereka terlebih dahulu dengan musyarathah (menetapkan beberapa syarat), kemudian dengan muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, mujahadah dan mu’atabah. Inilah yang kemudian sebagai acuan dalam tazkiyah al-nafs, yaitu upaya manusia membersihkan atau mensucikan dirinya sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhannya.
Ada beberapa tahapan mempersiapkan diri (murabathah) dalam bertazkiyah yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting dijalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan manusia dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti. Tahapan tersebut terbagi dalam enam maqam (tingkatan), yaitu:
a. Musyarathah (Penetapan Syarat)
Penetapan syarat adalah permulaan seseorang melakukan suatu kegiatan. Sebagai contoh tuntutan orang-orang yang terlihat dalam kongsi perdagangan, ketika melakukan perhitungan, adalah selamatkan keuntungan. Sebagaimana pedagang meminta bantuan kepada sekutu dagangnya lalu menyerahkan harta kepadanya agar memperdagangkan kemudian memperhitungkannya. Demikian pula akal, ia merupakan pedagang di jalan akherat. Apa yang menjadi tuntutan dan keuntungan tidak lain adalah tazkiyatun nafs karena dengan hal itulah keberuntungannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” Karena keberuntungan tidak lain adalah amal shalih.
Dalam perdagangan ini akal dibantu oleh jiwa, bila dipergunakan dan dikerjakan untuk hal yang dapat mensucikannya, sebagaimana pedagang dibantu oleh sekutu dan pembantunya yang memperdagangkan hartanya. Sebagaimana sekutu bisa menjadi musuh dan pesaing yang memanipulasi keuntungan sehingga perlu terlebih dahulu dibuat syarat (musyrathah), kemudian diawasi (muraqabah), diaudit (muhasabah) dan memberi sanksi (mu’aqabah) atau dicela (mu’atabab). Demikian pula akal memerlukan musyrathah (penetapan syarat kepada jiwa), lalu memberikan berbagai tugas, menetapkan berbagai syarat, mengarahkan ke jalan kemenangan, dan mewajibkannya agar menempuh jalan tersebut. Kemudian tidak pernah lupa mengawasinya, sebab seandainya manusia mengabaikannya niscaya akan terjadi pengkhianatan dan penyia-nyiaan modal. Kemudian setelah itu ia harus meng-hisabnya dan menuntut memenuhi syarat yang ditetapkan, karena bagi manusia keuntungan perdagangan ini adalah syurga firdaus yang tertinggi dan mencapai sidratul munthaha bersama para nabi dan syuhada’. Oleh sebab itu memperketat hisab (perhitungan) terhadap jiwa dalam hal ini jauh lebih penting ketimbang memperketat perhitungan keuntungan dunia, karena keuntungan dunia sangat hina bila dibandingkan dengan kenikmatan syurga, disamping kenikmatan dunia pasti lenyap. Tidak ada kebaikan pada kebaikan yang tidak langgeng.
Maka menjadi keharusan bagi setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk tidak lalai untuk melakukan muhasabah terhadap jiwanya, memperketat dalam berbagai gerak, diam, lintasan dan langkah-langkahnya. Apabila hamba memasuki waktu shubuh dan telah usai melaksanakan shalat shubuh maka hendaknya ia meluangkan hatinya untuk menetapkan syarat terhadap jiwanya sebagaimana pedagang meluangkan pertemuan untuk menetapkan syarat-syarat kepada sekutunya ketika ia menyerahkan barang dagangan kepadanya seraya berkata kepada jiwa; “Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur, jika ia habis maka habislah modal sehingga tidak ada harapan untuk melakukan perdagangan dan mencari keuntungan. Di hari yang baru ini Allah telah memberi tempo (waktu) kepadaku, dia memperpanjang usiaku dan melimpahkan nikmat kepadaku dengan usia itu. Seandainya Allah mematikan aku niscaya aku akan berandi-manusia sekiranya Allah mengembalikan aku ke dunia sehari saja agar aku beramal shalih.” Seandainya jiwa manusia telah meninggal kemudian dikembalikan lagi ke dunia, maka janganlah menyia-nyiakan hari ini, karena setiap nafas adalah mutiara yang tiada terkira nilainya. Perlu diketahui bahwa sehari semalam adalah dua puluh empat jam, maka bersungguh-sungguhlah hari ini untuk mengumpulkan bekal dan hindari kecenderungan pada kemalasan, kelesuan dan santai yang menyebabkan tidak dapat meraih derajat ‘iltiyin sebagaimana orang yang telah mendapatkannya.

b. Muraqabah (Pengawasan)
Muraqabah atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah (pengawasan Allah). Istilah ini diterapkan pada konsentrasi penuh waspada, dengan segenap jiwa, pikiran dan imajinasi, serta pemeriksaan yang dengannya sang hamba mengawasi dirinya sendiri dengan cermat. Dengan kata lain muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri adalah dengan jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam diri seorang Muslim maka dalam dirinya terdapat ‘waskat' (pengawasan melekat atau built in control) yakni sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah pengawasan Allah seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan Hadits yang artinya berikut ini:
1) “...Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid ayat 4), “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya” (QS. Qaf ayat 16),
2) “Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Al-An’am ayat 59).
3) (Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Luqman ayat 16).
4) Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi Saw bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.
Muraqabatullah atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma’iyatullah (kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. At-Taubah ayat 40) bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita”, ketika Abu Bakar r.a sangat cemas musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara Fir’aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan”. Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah, Yakni ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal afiat karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi dingin.
Apabila manusia telah mewasiati jiwanya dan menetapkan syarat kepadanya dengan apa yang telah disebutkan di atas maka langkah selanjutnya adalah mengawasi (muraqabah) ketika melakukan berbagai amal perbuatan dan memperhatikan dengan mata yang tajam, karena jika dibiarkan pasti akan melampaui batas dan rusak.
Berikut ini akan disebutkan keutamaan muraqabah dan derajat-derajatnya. Tentang keutamaan muraqabah, Jibril ‘alaihi salam pernah bertanya tentang ihsan lalu Rasulullah Saw menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya” (Bukhari dan Muslim). Hadits selanjutnya adalah “Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sekalipun kamu tidak melihata-Nya tetapi Dia melihatmu” (diriwayatkan Abu Nu’aim di dalam Al- Hilyah, Hadits ini ahsan). Kemudian ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mendukung keutamaan muraqabah adalah: “Maka apakah Tuhan yang menjaga sedap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)?” (QS. Ar-Ra’d ayat 33), “Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. Al-Alaq ayat 14), “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An-Nisa’ ayat 1), “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya” (QS. Al-Ma’arij ayat 32-33).
Sebagaimana diceritakan bahwa sebagian dari manusia bertanya tentang firman Allah: “Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya” (QS. Al-Bayianah ayat 8). Ia menjawab maknanya: maknanya yang demikian itu bagi orang yang merasakan muraqabah Tuhannya, meng-hisab dirinya dan membekali diri untuk akheratnya. Dzun Nun pernah ditanya: dengan apakah seorang hamba mencapai syurga? Ia menjawab: “Dengan lima hal yaitu, istiqamah yang tidak mengandung kelicikan, keseriusan yang tidak disertai kelalaian, muraqabatullah ta’ala dalam sunyi dan keramaian, menantikan kematian dengan penuh kesiapan terhadapnya, dan memuhasabah jiwamu sebelum kamu dihisab.”
Manusia, dalam segala ihwal keadaannya, tidak terlepas dari gerak dan diam. Apabila ia merasakan muraqabatullah dalam semua hal tersebut dengan niat, perbuatan yang baik dan menjaga adab maka ia adalah orang yang telah melakukan muraqabah. Jika ia sedang duduk misalnya maka seyogyanya ia duduk menghadap kiblat mengingat sabda Rasullullah SAW: “Sebaik- baik majlis adalah yang menghadap kiblat” (Di riwayatkan oleh Al- Hakim), jika ia tidur di atas tangan dan menghadap kiblat dengan tetap menjaga semua adabnya. Semua itu masuk dalam muraqabah. Bahkan sekalipun tengah membuang hajat, ia tetap menjaga adab-adabnya demi komitmen kepada muraqabah.
Seorang hamba tidak terlepas dari tiga keadaan: dalam ketaatan, atau dalam kemaksiatan atau dalam hal yang mubah. Muraqabah-nya dalam ketaatan ialah dengan ikhlas, menyempurnakan, menjaga adab dan melindunginya dari berbagai cacat. Dalam kemaksiatan, maka muraqabahnya ialah dengan taubat, melepaskan, malu dan sibuk melakukan tafakur. Jika dalam hal yang mubah, maka muraqabah-nya ialah dengan menjaga adab kemudian menyaksikan pemberi nikmat dalam kenikmatan yang didapat dan mensyukurinya.
Dalam semua keadaan, seorang hamba tidak tidak terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, dan nikmat yang harus disyukurinya. Semua itu adalah muraqabah. Bahkan dalam keadaannya, seorang hamba tidak terlepas dari fardhu Allah kepadanya yang harus dilaksanakan, atau larangan yang harus dihindarinya, atau anjuran yang yang dianjurkannya kepadanya agar ia bersegera mendapatkan ampunan Allah dan berpacu dengan hamba-hamba Allah, atau hal yang mubah yang memberikan kemaslahatan jasad dan hatinya di samping menjadi dukungan terhadap ketaatannya. Masing- masing dari hal tersebut memiliki batasan-batasan yang harus dijaga dengan senantiasa muraqabah: “Dan barang siapa melanggar batas-batas Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri” (QS. At- Thalaq ayat 1). Seorang hamba harus mengontrol diriya dalam semua waktunya dalam ketiga hal tersebut. Jika telah menyelesaikan berbagai kewajiban dan mampu melakukan berbagai keutamaan maka hendaknya ia mencari amal yang paling utama untuk ditekuninya. Jika luput mendapatkan tambahan keuntungan padahal ia mampu untuk mendapatkannya maka ia adalah orang yang terpedaya. Berbagai keuntungan diperoleh melalui berbagai keutamaan yang istimewa. Dengan hal itulah seorang hamba menjadikan bagian dunianya untuk akhirat, sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashas ayat 77). Demikian murabathah yang kedua dengan senantiasa mengawasi amal perbuatan ini.

c. Muhasabah (Intropeksi)
1) Hakekat Muhasabah
Muhasabah adalah menganalisa terus menerus atas hati berikut keadaannya yang selalu berubah. Muhasabah juga berarti usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya. Selama muhasabah, orang yang merenung pun memeriksa gerakan hati yang paling tersembunyi dan paling rahasia. Dia menghisab dirinya sendiri sekarang tanpa menunggu hingga Hari Kebangkitan.
Jadi muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.
Arti muhasabah terhadap mitra usaha ialah meninjau modal, keuntungan dan kerugian, untuk mencari kejelasan apakah bertambah atau berkurang. Jika didapatinya bertambah maka pedagang tersebut mensyukurinya tetapi jika didapatinya merugi maka ia mencarinya dengan menjaminnya dan berusaha mendapatkannya di masa mendatang. Demikian pula modal hamba dalam agamanya adalah berbagai kewajiban, keuntungannya adalah berbagai amal sunnah dan keutamaan, sedangkan kerugiannya adalah berbagai kemaksiatan.

2) Keutamaan Muhasabah
Berikut ini adalah keutamaan muhasabah. Tentang keutamaan muhasabah, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS. Al-Hasyr ayat 18). Ini adalah isyarat kepada muhasabah terhadap amal perbuatan yang telah dikerjakan. Oleh karena itu Umar ra berkata, “hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan timbanglah dia sebelum kamu ditimbang.”
Seoarang hamba memulai muhasabahnya. dengan bertaubat pada Allah SWT. Sebagaimana dalam firman Allah: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An-Nur ayat 31). Taubat adalah meninjau perbuatan dengan menyesalinya setelah dikerjakan. Nabi SAW bersabda dalam sebuah Hadits Shahih: Sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.”
Dalam ayat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. al- A’raf ayat 201). Dari Umar ra bahwa ia memukul kedua kakinya dengan cemeti apabila malam telah larut seraya berkata pada dirinya; “Apakah yang telah kamu perbuat hari ini?” Dari Maimun bin Mahran bahwa ia berkata: “Seorang hamba tidak termasuk golongan muttaqin sehingga dia menghisab dirinya lebih keras ketimbang muhasabahnya terhadap mitra usahanya. Al-Hasan berkata: “Orang mukmin selau mengevaluasi dirinya, ia menghisabnya karena Allah. Hisab akan menjadi ringan bagi orang-orang yang telah menghisab diri mereka di dunia, dan akan menjadi berat pada hari kiamat bagi orang-orang yang mengambil perkara ini tanpa muhasabah.”
Tentang firman Allah: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (QS. al-Qiyamah ayat 2).
Penyesalan ini akan dapat mendorong seseorang untuk mengevaluasi atau memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, sehingga perbuatan yang akan dijalani dapat terkontrol dengan baik. Inilah keutamaan muhasabah.

d. Mu’aqabah (Menghukum Diri Atas Segala Kekurangan )
Selain sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, maka perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum atau menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka mu’aqabah dianalogikan dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan harinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.
Betapapun manusia telah menghisab dirinya tetapi ia tidak terbebas sama sekali dari kemaksiatan dan melakukan kekurangan berkaitan dengan hak Allah sehingga ia tidak pantas mengabaikannya, jika ia mengabaikannya maka ia akan mudah terjatuh melakukan kemaksiatan, jiwanya menjadi senang kepada kemaksiatan, dan sulit untuk memisahkannya. Hal ini merupakan sebab kehancurannya, sehingga harus diberi sanksi. Apabila ia memakan sesuap subhat dengan nafsu syahwat maka seharusnya perut dihukum dengan rasa lapar. Apabila ia melihat orang yang bukan muhrimnya maka seharusnya mata dihukum dengan larangan melihat. Demikian pula setiap anggota tubuhnya dihukum dengan melarangnya dari syahwatnya.
Kami menyebutkan hadits Abu Thalhah, ketika hatinya tidak khusu’ karena memperhatikan seekor burung di kebunnya lalu ia menshadaqahkan kebunnya sebagai kafarat hal tersebut. Demikian pula ‘Umar memukul kedua kakinya dengan cemeti setiap malam seraya berkata: Apa yang telah kamu perbuat hari ini?
Demikian pula sanksi orang-orang yang bersikap tegas terhadap jiwa mereka. Hal yang mengherankan bahwa manusia menghukum budak, istri dan anak manusia atas akhlak buruk yang mereka lakukan dan keteledoran mereka terhadap suatu perintah, dan manusia memaafkan mereka niscaya urusan mereka akan rusak dan mereka tidak mentaatinya, tetapi kemudian manusia membiarkan nafsu syaitan yang merupakan musuh terbesar bagi manusia menyelimuti jiwanya. Sekiranya manusia berfikir mendalam niscaya manusia menyadari bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat, karena di dalamnya terdapat kenikmatan abadi yang tiada ujungnya. Tetapi nafsu itulah yang mengeruhkan kehidupan akherat manusia sehingga dia lebih pantas mendapatkan sanksi (mu’aqabah) ketimbang yang lainnya.

e. Mujahadah (Bersungguh-Sungguh)
Mujabadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi Saw yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.
Ternyata Ka’ab harus membayar sangat mahal berupa pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.
Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang. Beliau menjawab,“Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran (hamba yang senantiasa bersyukur)?”
Diriwayatkan dari seseorang dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra bahwa ia berkata: “aku pernah shalat shubuh di belakang ‘Ali ra. Ketika salam, Ia menoleh kesebelah kanannya dengan sedih hati lalu diam hingga terbit matahari kemudian membalik tangannya seraya berkata: “Demi Allah, aku melihat para shahabat Muhammad SAW dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah dengan bergantian pijakan kaki dan jidat mereka, apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar terterpa angin, mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka, dan orang-orang sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).”
Demikian peri kehidupan generasi salaf yang shalih dalam mensiapsiagakan jiwa dan mengawasinya (murabathah dan muraqabah). Sehingga mereka dapat bermujahadah melaksanakan ibadah dengan sungguh-sungguh.

f. Mu’atabah (Mencela Diri)
Terakhir dari tingkatan murabathah ini adalah Mu’atabah. Mu’atabah mengandung arti perlunya memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.
Dalam melakukan mu’atabah adalah mengetahuilah terlebih dahulu bahwa musuh bebuyutan dalam diri manusia adalah nafsu yang ada di dalam dirinya. Ia diciptakan dengan karakter suka memerintahkan pada keburukan, cenderung pada kejahatan, dan lari dari kebaikan. Manusia diperintahkan agar mensucikan, meluruskan dan menuntunnya dengan rantai paksaan untuk beribadah kepada Tuhan, dan mencegahnya dari berbagai syahwatnya dan menyapihnya dari berbagai kelezatannya. Jika mengabaikannya maka ia pasti merajalela dan liar sehingga manusia tidak dapat mengendalikannya setelah itu. Jika manusia senantiasa mencela dan menegurnya kadang-kadang ia tunduk dan menjadi nafsu lawwamah (yang amat menyesali dirinya) yang dipergunakan oleh Allah untuk bersumpah, dan manusia tidak berharap menjadi nafsu muthma’innah (yang tenang) yang mengajak untuk masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah yang ridha dan diridhai. Maka hendaklah manusia tidak lupa sekalipun sesaat untuk mengingatkannya, dan hendaknya seorang hamba sibuk menasehati orang lain jika ia tidak sibuk terlebih dahulu menasehati dirinya sendiri.
Allah berfirman: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat ayat 55). Jalan yang harus manusia tempuh adalah berkonsentrasi mengahadapinya lalu menyadarkan akan kebodohan dan kedunguannya, janganlah manusia terpedaya oleh kelicikan dan “petunjuknya”. Firman Allah yang berbunyi: “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai” (QS. Al- Anbiya’ ayat 1-3).
Demikian cara orang-orang ahli ibadah dalam bermunajat kepada Sang Penolong mereka yaitu Allah SWT. Tujuan munajat mereka adalah mencari ridha-Nya dan maksud celaan mereka adalah memperingatkan dan meminta perhatian. Siapa yang mengabaikan mu’atabah (celaan terhadap diri) dan munajat berarti ia tidak menjaga jiwanya, dan bisa jadi tidak mendapatkan ridha Allah.
PERTEMUAN 12
HUBUNGAN SYARI’AH & TASAWUF

1. Aspek Tasawuf
a. Maqamat
Tasawuf dari satu segi merupakan suatu ilmu. Sebagai ilmu, tasawuf mempelajari cara dan jalan bagaimana seseorang Muslim dapat berada dekat dengan Allah sedekat-dekatnya. Untuk dapat mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah, seorang muslim harus menempuh perjalanan panjang yang penuh duri yang dalam bahasa Arab disebut dengan maqamat, yang merupakan bentuk jamak dari maqam.
Pengertian maqam menurut para ulama tasawuf berbeda-beda, namun pengertian yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Menurut al-Thusi, maqam adalah kedudukan seseorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah (al-‘ibadat), kesungguhan melawan hawa nafsu (al-mujahadat), latihan-latihan kerohanian (al-riyadhat), serta mengerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada Allah (al-inqitha’ ila Allah). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 14 dan surat al-Shaffat ayat 164.

b. Ahwal
Di dalam beberapa literatur tasawuf, konsep maqamat sering dibandingkan penggunaannya dengan konsep ahwal (bentuk jamak dari hal). At-Thusi menjelaskan, ahwal adalah suasana yang menyelimuti kalbu atau sesuatu yang menimpa hati seorang shufi karena ketulusannya dalam mengingat Allah. Oleh karena itu, ahwal tidak diperoleh melalui al-‘ibadat, al-mujahadat, dan al-riyadhat seperti dalam maqamat. Adapun suasana hati yang termasuk dalam kategori ahwal ini misalnya: merasa senantiasa diawasi Allah (al-muraqabat), rasa dekat dengan Allah (al-qurb), rasa cinta dengan Allah (mahabbat), rasa harap-harap cemas (al-khaufwa af-raja’), rasa rindu (al-syauq), rasa berteman (al-uns), rasa tentram (al-thuma’ninat), rasa menyaksikan Allah dengan mata hati (al-musyahadat), dan rasa yakin (al-yaqin).
Senada dengan al-Thusi, al-Qusyairi mengatakan bahwa mengatakan bahwa maqam ialah keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Allah yang dapat membawanya kepada jenis usaha dan jenis tuntutan dari berbagai kewajiban. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ahwal merupakan anugerah Allah, sedangkan maqamat merupakan hasil usaha. Ahwal adalah keadaan yang datang tanpa wujud kerja, sedangkan maqamat dihasilkan seseorang hamba melalui kerja keras.
Dengan demikian, antara maqamat dan ahwal terdapat perbedaan yang tajam. Maqamat, demikian Sayyid Husain Nashr, termasuk kategori tindakan-tindakan yang bertingkat dan memiliki pertalian satu sama lain yang apabila telah tertransedensikan akan tetap menjadi milik yang langgeng bagi seorang shufi yang telah melampauinya. Sedangkan ahwal termasuk kategori anugerah Allah atas hati hamba-Nya dan bersifat sementara.
Kendatipun demikian, jika diamati secara cermat kategori maqamat dan ahwal bukanlah dua kategori yang ketat, karena ada kalanya seorang penulis kitab tasawuf memasukan suatu konsep ke dalam kategori maqamat, sementara penulis yang lain memasukannya ke dalam kategori ahwal. Di kalangan ulama tasawuf tidak ada kesepakatan mengenai hal ini. Oleh karena itu, jumlah dan susunan maqamat berbeda bagi shufi yang satu dengan shufi yang lain. Perbedaan ini nampaknya disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman rohaniah yang ditempuh oleh masing-masing shufi. Sebagai contoh misalnya al-Kalabadzi dalam kitabnya al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Thasawuf memberikan jumlah dan susunan sebagai berikut: al-taubat, al-zuhd, al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridha, al-mahabbat, dan al-ma-rifat.
Al-thusi menyebutkan dalam kitabnya al-Luma’ sebagai berikut: al-taubat, al-wara’, al-zuhd, al-faqr, al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridha.
Al-Ghazali dalam kitab Ikhya ‘Ulum al-Din menyebutkan: al-taubat, al-shabr, al-faqr, al-zuhd, al-tawakkul, al-mahabbat, dan al-ridha.
Meskipun para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang susunan dan jumlah maqamat, namun secara umum maqamat itu meliputi: al-taubat, al-zuhd, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridha. Mengenai tahapan maqamat ini secara singkat digambarkan sebagai berikut:
1) Maqam taubat, disini seorang calon shufi harus bertaubat baik dari dosa besar maupun dosa kecil.
2) Maqam Zuhd, yakni mengasingkan diri dari dunia ramai.
3) Maqam wara’, yakni meninggalkan hal-hal yang syuhbhat.
4) Maqam faqr, yakni hidup sebagai orang fakir.
5) Maqam shabr, yakni harus sabar menghadapi cobaan yang datang menimpanya.
6) Makam tawakkul, yakni menyerahkan sebulat-bulatnya kepada keputusan Allah
7) Maqam ridha, yakni ia merasa telah dekat dengan Allah, sehingga ia tidak meminta sesuatu apapun kecuali ridha-Nya.
Seorang calon shufi yang telah mampu menempuh maqamat tersebut dengan sebaik-baiknya, maka hatinya menjadi suci dan bersih dari perbuatan dosa dan maksiat. Hatinya tidak lagi tergoda dengan kehidupan materi, melainkan ia hanya menuju ke hadirat Allah semata. Dengan kesucian hati inilah dapat mendekatkan diri kepada Allah. Karena Allah Yang Maha Suci tridak dapat di dekati kecuali oleh hamba-Nya yang suci.
Setelah hati seorang shufi menjadi suci, maka hilanglah rasa benci kepada apa dan siapa pun, baik benci kepada Allah maupun kepada makhluk-Nya. Yang tinggal di dalam hatinya hanyalah rasa cinta kepada Allah (Mahabbat). Sebagaimana terlihat dari ucapan seorang shufi yang termashur dalam mahabbat, Rabi’at al-'’Adawiyyat: “Oh kekasih hatiku, aku tak akan memberikan cintaku kecuali kepada-Mu, oleh karena itu kasihanilah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu hari ini. Oh harapanku, kebahagiaanku, dan kenikmatanku, hatiku tak dapat mencintai apapun kecuali Kau Satu (Allah). Seorang shufi yang telah memiliki cinta kasih sejati kepada Allah, maka semakin dekat denganNya. Sehingga tak mengherankan jika ia menghabiskan seluruh waktunya untuk melakukan dzikr, tafakkur dan banyak beribadah kepadaNya, maka ia pun diberi anugerah oleh Allah, yakni dibukakan tabir pemisah antara dirinya dan Allah, sehingga mata hatinya dapat menyaksikan rahasia-rahasia Allah. Sampai di sini berarti seorang shufi telah mencapai tingkat ma’rifat. Hal ini sejalan dengan ungkapan Imam al-Ghazali bahwa ma’rifat adalah melihat atau mengetahui rahasia-rahasia Allah (Al-Nazharu ila asrari al-umur al-ilahiyat).

2. Hubungan Syari’ah Dan Tasawuf
Menurut sebagian ulama, syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat erat, karena keduanya merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam. Syari’ah mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriyah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah. Aspek lahir dan aspek batin keduanya tidak dapat dipisahkan, sebagaimana dikatakan al-Hujwiri bahwa aspek lahir tanpa aspek bathin adalah kemunafikan, sebaliknya aspek bathin tanpa aspek lahir adalah bid’ah.
Ungkapan di atas senada dengan pendapat-pendapat ulama lain, sebagai berikut:
Ibn ‘'Ujaibat dalam kitabnya Iqazh al-Himam fi Syarh al-Hikam menyebutkan: Tiada tasawuf kecuali dengan fiqh, karena hukum-hukum Allah yang zhahir tidak dapat diketahui kecuali dengan fiqh, dan tiada fiqh kecuali dengan tasawuf, karena tiada amal yang diterima kecuali disertai dengan tawajjuh (menghadap Allah) yang sebenar-benarnya, dan keduanya (tasawuf dan fiqh) tidak sah kecuali disertai dengan iman.
Imam Malik menegaskan: Barangsiapa yang bertasawuf tanpa mempelajari fiqh sungguh ia berlaku zindik, dan barangsiapa yanj berfiqh tanpa tasawuf, maka ia menjadi fasiq, dan barangsiapa yang mengamalkan keduanya, itulah orang yang ahli hakikat. Muhammad ibn ‘Allan dalam kitab Dalil al Falihin menyebutkan Barangsiapa menghiasi lahiriyahnya dengan syari’at dan mencuci kotoran bathiniahnya dengan air thariqat, maka ia dapat mencapa haqiqat ( Muhammad ibn ‘Allan al-Shiddiqi al-Syafi’i, 1391 H:33).
Pendapat-pendapat ulama di atas sejalan dengan ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Qusyairi dan al-Ghazali Menurut al-Qusyairi: Setiap pengalaman syari’ah yang tidak didukung dengan pengamalan hakikat, maka tidak dapat diterima dan setiap pengamalan hakikat tidak didukung dengan pengamalan syari’at, maka tidak dapat mencapai tujuan yang dikehendaki.
Al-Ghazali mengatakan: Tidak akan sampai ke tingkat terakhir (menghadap Allah dengan benar, yaitu hakikat) kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya (memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu syari’ah).
Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan: Tidak bisa menembus ke dalam batinnya (tujuan ibadah) kecuali setelah menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah).
Memperhatikan pendapat-pendapat di atas, terlihat secara jelas bahwa antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang sangat erat, keduanya tidak boleh dipidahkan.
Di sini timbul pertanyaan: Mengapa para ulama memadukan antara syari’ah dan tasawuf? Padahal antara keduanya terdapat perbedaan yang tajam, sebagaimana dikatakan Ahmad Amin yang telah disebutkan dalam pendahuluan, bahwa Fuqaha sebagai ahli syari’ah sangat mengutamakan amal-amal lahiriyah, sedangkan kaum shufi sebagai ahli haqiqat sangat mengutamakan amal-amal bathiniah.
Pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu bathin, demikian menurut al-Thusi, oleh karena itu syari’ah pada mulanya juga mengandung ilmu lahir dan ilmu bathin. Namun dalam perkembangan selanjutnya syari’ah yang mengandung kedua unsur baik ilmu lahir maupun ilmu bathin itu mengandung semacam spesialisasinya, sehingga syari’ah lebih menekankan pada ilmu lahir, sedangkan ilmu bathin dikembang ilmu tasawuf atau ilmu hakikat. Terjadinya perkembangan spesialisasi kedua ilmu ini berkemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya, yakni syari’ah yang mengambil bentuk fiqh cenderung menggunakan rasio dan logika akal dalam membahas dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan hukum, sedangkan tasawuf cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan al-Qur’an dan al-Hadits.
Menurut keterangan al-Ghazali sejak abad ketiga Hijriyyah ilmu-ilmu agama Islam: Ilmu kalam (tauhid), ilmu fiqh dan ilmu tasawuf masing-masing berdiri, akibat dari adanya upaya spesialisasi ilmiah yang lebih rinci. Setiap disiplin ilmu kemudian menempuh jalannya masing-masing dengan prinsip dan metode sendiri-sendiri yang berakibat satu disiplin ilmu dengan yang lainnya pun menjadi berbeda obyek, metode dan sasarannya. Yang berkaitan dengan akidah tersebut ilmu Kalam (ilmu Tauhid), yang berkaitan dengan tindakan lahiriyah disebut ilmu fiqh, dan yang berkaitan dengan psikis disebut ilmu jiwa (ilmu tasawuf).
Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana tersebut di atas sangat menguntungkan, akan tetapi jika dilihat dari segi masyarakat Islam sebagai suatu umat, maka spesialisasi tersebut cukup meresahkan dan merisaukan umat Islam, karena hal tersebut dapat menyebabkan polarisasi umat. Sehingga sering terjadi perselisihan, perdebatan dan saling tuduh menuduh kafir (kafir mengkafirkan) atau saling tuduh menuduh zindik (zindik menzindikan) di kalangan umat Islam sendiri. Mereka memperselisihkan tentang mana yang benar, apakah amal lahir atau amal bathin, dan mana yang lebih utama, apakah amal lahir atau amal bathin.
Barangkali atas dasar inilah para ulama yang telah disebutkan di atas bermaksud untuk memadukan kembali antara syari’ah dan tasawuf.

1 komentar:

Pengikut