Selasa, 12 Juli 2011

Resume Ilmu Kalam


Ilmu Kalam - Disini ada beberapa ahli ilmu kalam berpendapat tentang definisi ilmu kalam itu sendiri, diantaranya adalah, Ilmu Kalam dapat ditelusuri dari akar katanya. Secara etimologis, kalam berarti pembicaraan, yakni pembicaraan yang bernalar menggunakan logika. Oleh karena itu, ciri utama dari ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika. Kata kalam sendiri mulanya memang dimaksudkan sebagai terjemah dari logos yang diadopsi dari bahasa yunani yang berarti pembicaraan.

Dari kata inilah muncul istilah logika dan logis yang diterjemahkan dalam bahasa arab dengan istilah mantiq sehingga ilmu logika, khususnya logika formal (sillogisme) dinamakan mantiq. Karena diadopsi dari bahasa Yunani, maka kerangka dan isi pemikiran Yunani memberikan konstribusi yang besar untuk memperkaya ilmu kalam. Menurut Ibnu Khaldun bahwa Ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan untuk mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan ahli sunah

Secara harfiah kalam berarti perkataan. Sedangkan Ilmu Kalam sendiri dapat dipahami sebagai suatu kajian ilmiah yang berupaya untuk memahami keyakinan-keyakinan keagamaan dengan didasarkan pada argumentasi yang kokoh. Al-Iji pernah mengidentifikasi beberapa sebab yang mungkin menjadi alasan penamaan disiplin keilmuan ini dengan istilah Ilmu Kalam, yaitu: 
  1. Ilmu Kalam sebagai oposisi bagi Logika di kalangan filsuf;
  2. Diambil dari judul bab-bab dalam buku dengan pembahasan terkait yang umumnya diawali dengan perkatan “al-kalam fi …“ (atau: pembahasan tentang …); dan 
  3. Dinisbatkan kepada isu paling populer dalam perdebatan kaum mutakallim (ahli kalam), yaitu tentang kalam Allah. Menurut al-Farabi, ilmu ini dapat berguna untuk mempertahankan atau menguatkan penjelasan tentang akidah dan pemahaman keagamaan Islam dari serangan lawan-lawannya melalui penalaran rasional.

Tetapi patut dicatat bahwa Ilmu Kalam yang berkembang dalam Islam ini, sekalipun dalam pembahasannya banyak mempergunakan argumen-argumen rasional, umumnya tetap tunduk kepada wahyu. Perbedaan yang kerap muncul hanya terletak pada tingkat pengakuan fungsi akal untuk memahami wahyu serta tingkat liberasi interpretasi dari skripturalitas (keharfiahan) pembacaan atas teks. Pada lokus ini Ilmu Kalam dapat dibedakan dari Filsafat maupun Fikih.

Tasya Kubra Zadah mengatakan bahwa Ilmu Kalam bersandar kepada apa yang datang dari agama tentang keyakinan-keyakinan kemudian mencari hujjah rasional untuk meneguhkannya. Sedangkan Filsafat melakukan telaah dengan rasio hingga menemukan dalil-dalil yang menopang suatu simpulan yang dipandangnya sebagai kebenaran tanpa melihat lebih dulu apa yang ada dalam sumber otoritatif agama. Jadi, moda-epistemologi mutakallim adalah berkeyakinan dulu baru kemudian berdalil dengan memakai bahasan-bahasan filsafat, sedangkan para filsuf berdalil dulu baru kemudian berkeyakinan yang menurut Ibnu Khaldun pada dasarnya memang tidak bertendensi religius. Sekalipun kemudian, pembedaan ini tidak mencegah adanya pencampuran antara Ilmu Kalam dan Filsafat bagi kalangan mutakallim (teolog) khalaf.

Adapun perbedaan Ilmu Kalam dengan Fikih secara garis besar terletak pada fokus kajiannya. Jika mutakallim berkonsentrasi pada aspek teologis atau dasar-dasar agama (usuliyah) yang perlu dipahami umat agar tidak terjerumus pada kekufuran, maka fuqaha’ (ahli fikih) cenderung mengembangkan analisis terhadap aspek furu’iyah ajaran Islam khususnya dimensi legalistik dari perbuatan manusia, baik ibadah maupun muamalah.

Menurut pengamatan dalam penelitian Fazlur Rahman, salah satu penyebab tidak berkembangnya disiplin keilmuan kalam khususnya atau studi-studi keislaman pada umumnya, lebih dari segi materi maupun metodologi, adalah dipisahkannya dan dihindarinya pendekatan dan pemahaman filosofis dalam batang tubuh kerangka keilmuan kalam. Menurutnya, disiplin ilmu filsafat dan pendekatan filosofis pada umumnya sangat membantu untuk menerobos kemacetan, bahkan jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu apapun. Lebih lanjut dikatakan bahwa: "philosophy is, however, a perennial intellectual need and has to be allowed to flourish both for its own sake of other disciplines, since it inculcates a much-needed analytical-critical spirit and generates mew ideas that become important intellectual tools for other sciences not least for religion and theology. Therefore a people that deprives itself of philosophy necessarily exposes itself to starvation in terms of fresh ideas - in fact it commits intellectual suicide".

Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut: "Bagaiamanapun juga filsafat adalah merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Untuk itu, ia harus boleh berkembang secara alamiah, baik untuk pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan disiplin-disiplin keilmuan yang lain. Hal demikian dapat dipahami, karena filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal-pikiran untuk bersifat kritis-analitis dan mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat dibutuhkan, sehingga dengan demikian ia menjadi alat intelektual yang sangat penting untuk ilmu-ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan teologi (kalam). Oleh karenanya, orang yang menjauhi filsafat dapat dipastikan akan mengalami kekurangan energi dan kelesuan darah -dalam arti kekurangan ide-ide segar-dan lebih dari itu, ia telah melakukan bunuh diri intelektual.

Kelesuan berpikir dan berijtihad dalam bidang ilmu kalam bukannya hanya datang belakangan ini. Menurut penelitian Muhammad Abid al-Jabiri, hampir selama 400 tahun lebih, yakni dari tahun 150 sampai dengan 550 Hijriyyah, seluruh khazanah intelektual Muslim yang tertulis dalam bahasa Arab (kitab kuning), khususnya yang berbasis pada pemikiran kalam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai pendekatan, metodologi maupun disiplin.3  Akibatnya dapat diduga, pendekatan dan pemahaman filosofis terhadap realitas keberagamaan pada umumnya, dan realitas keberagamaan Islam khusunya kurang begitu dikenal dan begitu berkembang dalam alam pikiran Muslim era kontemporer.



Adapun Ruang Lingkup Pembahasan dari Teology Islam (Ilmu Kalam) itu adalah :

1. Ilahiyyaat yaitu masalah ketuhanan
  • Masalah ketuhanan membicarakan masalah :
  • Dzat Tuhan
  • Nama dan sifat Tuhan 
  • Perbuatan Tuhan.

2. Annubuwwaat yaitu masalah kenabiyan
  • Masalah kenabian membicarakan :
  • Kemukjizatan nabi-nabi
  • Nabi-nabi terakhir

 3. Assam’iyyaat yaitu hal-hal yang tak mungkin kita ketahui melainkan ada informasi dari nabi, yaitu berbicara masalah wahyu.
  • Masalah sam’iyyaat meliputi antara lain :
  • Masalah azab kubur
  • Neraka
  • Surga
  • Dsb.

Semua hal-hal yang tidak akan pernah kita ketahui kecuali ada berita dari para nabi dan RasulNya. Ruang lingkup pembahasan ilmu kalam yang meliputi wujud Tuhan, keesaan Tuhan, zat dan sifat Tuhan, sifat-sifat aktif Tuhan, sifat ilmu, sifat kalam, kejisiman Tuhan, arah, rukyat, keadilan Tuhan, qada dan qadar tuhan


Daftar Fustaka

Muhidin, Drs. H, SH, M.H. 2006. Risalah Tauhid Dalam Ilmu Kalam. Kuala Kapuas.
Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
Wolfson, Harry Austryn, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Perss, 1976).
Rozak, Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia, Bandung, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut